Sabtu, 21 Agustus 2010

Haraqah al-Islamiyyah

PENDAHULUAN
Ritual keagamaan bukan suatu yang menjadikan para pengikutnya pasif, tapi ingin menjadikan mereka aktif dan semangat dalam mengarungi kehidupan ini. Manusia yang telah terpatri nilai ritual keagamaan dalam hatinya, akan semakin semangat untuk mewujudkan nilai-nilai yang dikandung oleh ajaran agama tersebut. Langkah dalam realita kehidupan inilah yang sering kita sebut sebagai Haraqah (gerakkan ). Sedangkan al-Islamiyyah adalah nilai-nilai yang akan diwujudkan, Yakni nilai ajaran Islam sebagai sumber serta akhir dari tujuan haraqah itu. jadi Haraqah al-Islamiyyah berarti Gerakan Islam yang mengingginkan tegaknya nilai ajaran agama Islam  yang diridhoi Allah serta mengembalikan kembali pengabdian diri manusia kepada Tuhan baik individu maupun berjamaah . Hakekat Haraqah al-Islamiyyah adalah mewujudkan ajaran Islam secara jamaah/bersama-sama. Gerakan ini lahir bukan karena nafsu duniawi/kepentingan dunia, namun murni muncul dari hati yang memiliki fiqrah yang sama terhadap keyakinan terhadap kebenaran ajaran islam. Haraqah al-Islamiyyah tak akan tercapai jika tak ada negara yang menegakkan hukum dan perundang-undangan Islam.
Perlunya haraqah al-Islamiyyah.
Islam dewasa ini mengalami cobaan yang sangat berat, baik dalam diri penganut islam sendiri; berupa para pecinta dunia dan para munafiq, serta dari luar berupa isme-isme yang muncul dari Pendendam Islam, berupa hukum taghut,sistem-sistem pemikiran materialisme  yang melahirkan segi filsafat dan sistem akhlak bertentangan dengan Islam. Pemikiran materialisme dan falsafat ateisme telah merusak intelek  generasi muda. Keadaan moral turun kenadi terendah nilai kemanusiaan. Kezaliman sistem yang memerintah dan undang-undang yang berjalan, serta kurangnya keadilan, kebebasan dan persamaan membolehkan faham markisme yang menafikan perwujudan Allah, serta menyerang umat islam atas nama keadilan, membela mereka yang terzalim dan meningkatkan taraf hidup polentariat ( yang tertindas).
"Apakah mereka menghendaki hukum jahiliyah? Dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Qs. al-Maidah : 50
Ada yang menarik dari ayat singkat di atas, berkenaan dengan ma'na jahiliyyah. Ternyata al-Qur'an tidak mendefinisikan kata ‘jahiliyah’ sebagai ‘kebodohan’, ‘keterbelakangan’ yang merupakan lawan-kata dari ‘berilmu pengetahuan’, ‘civilized’ atau ‘kemajuan material’; melainkan mendefinisikannya sebagai ‘suatu keadaan yang menolak hidayah Ilahi dan menolak hukum Allah’. Jadi sikap ‘jahiliyah’ merupakan lawan dari sikap bersedia menerima hidayah Ilahi; kebalikan dari keikhlasan menerima hukum dan aturan yang datang dari Allah.
Dengan kata lain, kejahiliyahan identik dengan hawa nafsu. Manusia yang hidup mengikuti dorongan hawa nafsu semata dan tidak mau mematuhi apa yang ditentukan Allah, mereka itulah manusia yang berada dalam kejahiliyahan. Tak perduli bila dan dimana ia berada, satu-satunya yang membuat seseorang menjadi manusia jahiliyah adalah penolakan mereka terhadap hidayah Ilahi. Dengan demikian, bukan hanya orang-orang Arab pra-Islam saja yang berada dalam suasana kejahiliyahan, melainkan juga setiap masyarakat yang hidupnya menyimpang dari tuntunan hidayah dan menuruti hawa nafsu saja.
Sama halnya dengan keimanan, kejahiliyahan memiliki sejarah yang sangat tua di muka bumi ini. Keduanya berpangkal pada tabiat manusia yaitu cenderung kepada kesesatan atau hidayah (baca Qs.91:8). Baik hidayah maupun jahiliyah, memperlihatkan bentuk dan coraknya masing-masing, seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Dari jaman dulu hingga kini, pertentangan antara keduanya selalu terjadi. Di abad ini, yang sering disebut sebagai abad modern, maka kejahiliyahan pun muncul dengan segala ke-modern-annya.
Menurut Muhammad Quthb dalam bukunya ‘Jahiliyatul Qarnil 'Isyrin’ (Jahiliyah Abad 20), jahiliyah modern merupakan ringkasan dari segala bentuk kejahiliyahan masa silam dengan tambahan aksesori di sana-sini sesuai dengan perkembangan jaman. Sikap jahiliyahan modern yang tidak timbul secara mendadak melainkan telah melalui kurun waktu panjang.
Malapetaka, lebih banyak terjadi akibat kejahiliyahan modern ini, karena kejahiliyahan ini mempunyai banyak ‘wajah’, mempunyai banyak kekuatan dan menciptakan kemudahan material bagi manusia.
Dengan kekuatan tersebut terkadang ‘kejahiliyahan’ tak tampak lagi sebagai sesuatu yang bathil, akibatnya jahiliyah modern ini jauh lebih berbahaya dibanding jahiliyah masa silam.
Peperanga antara Islam dan jahiliyah dewasa ini bukan hanya dialog ilmiah atau perbincangan idiologi semata, tetapi sampai taraf keperingkat berdarah ganas.
Jahiliyah hari ini dalam serangannya terhadap islam dan para pendakwa mengunakan senjata yang menhancurkan, senjata dalam bentuk pembunuhan, pengurungan, penyiksaan, dan pembuangan. Fitnah,penghianat, dan tuduhan dalam berbagai bentuk dan rupa adalah diantara cara-cara yang dilakukan jahiliyah modern untuk memukul Islam dan menghapuskan para pendakwa diberbagai tempat. Seluruh dunia dalam kesesatan dan mengigil dalam telapak kaki penyelewengan, kekosongan dan penghianatan.
Dunia dibalut dengan gejala tamadud modern, dibakar oleh revolosi sex, dan diancam oleh pertentangan gejala kebinatangan yang kejumudan, akhlak, dan pemikiran manusia.
Allah SWT berfirman " Dia menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapakah yang paling      baik amalnya " ( al-Mulk : 2 ).
Dinamika kehidupan dunia yang bertentangan nilai kemanusiaan yang bermartabat dan bermoral menjadi tantangan bagi para pendakwa    untuk terus menegakan nilai kebenaran ajaran Islam. Serta menjadikan perjuangannya  itu sebagai wujud amaliyah yang nanti akan diperhitungkan di akhirat sebagai amal sholeh. Siroh para Nabi/Rosul serta umatnya dalam       menegakkan ajaran Tuhan dimuka bumi telah membuktikan pada penegak kebenaran bahwa           perjuangan itu membutuhkan pengorbanan baik   harta benda,keluarga               maupun nyawa sebagai taruhannya. Dan kemenangan serta kekalahan akan senantiasa bergilir diantara penegak  kebenaran maupun kebatilan. Hal ini fitroh yang pasti kejadiannya. Sedangkan bagi kaum muslimin sebagai penegak kebenaran ujian sebagai " kawah condro dimuko" untuk menyaring para pejuang itu, siapakah yang benar imannya dengan yang tak beriman/munafiq.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS Muhamad : 7). “Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mu’min bertawakkal.” (QS Ali Imran : 160). “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al-Baqarah : 154).
Tidak ada satupun di antara kita yang tidak mau syahid di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena itu, syahid bukanlah sekedar harapan,keinginan, apalagi khayalan. Tetapi syahid adalah panggilan Allah Sang Penguasa langit dan bumi, pemilik dunia dan akhirat. Bila dalam memenuhi panggilan jihad itu kita dalam keadaan fakir atau miskin, maka ketahuilah itu tandanya Allah sedang menyayangi kita.
Karenanya, ruhul jihad kita tidak boleh mengendur. Sebaliknya, kalau kita diberi kelapangan harta, ketahuilah bahwa justru itu adalah ujian dari Allah. Sanggupkah ruhul jihad kita ikut meningkat seiring dengan meningkatnya harta kita? Teladan kita, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya yang setia, sangat cinta syahid di jalan Allah melebihi cinta segalanya.
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).” (QS Al-Baqarah : 165).
Syukur Ilallah “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS Ibrahim : 7).
Adanya panggilan jihad di jalan Allah, membela Islam dan Muslimin, menyampaikan dakwah fil ardh, lebih khusus lagi dalam rangka untuk ikut serta mengembalikan Al-Aqsha ke pangkuan muslimin, haruslah kita nikmati dengan syukur kepada Allah. Allah hendak memilih kita ke dalam barisan pejuang di jalan-Nya. Dengan demikian, diri kita dan Khilafah ‘Alaa Minhaajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jejak kenabian) yang sedang kita amalkan, hendak Allah tingkatkan bobot kualitasnya. Insya Allah. Hendaklah kita bersyukur Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa istiqamah dan menigkatkan diri kita sebagai Hizbullah, hamba-hamba Allah yang berpihak kepada Allah.
“Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (QS Al-Maidah : 56). “Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat) -Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS Al-Mujadalah : 22).
Perjuangan Muslimin Situasi dan kondisi Gaza pada khususnya, serta Palestina termasuk di dalamnya Al-Aqsha pada umunya, adalah bagian dari perjuangan muslimin. Hal ini karena semata-mata dorongan aqidah, karena firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Permasalahan muslimin di Gaza, Palestina, dan dimanapun pada hakikatnya adalah permasalahan seluruh umat Islam, di manapun berada.
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat : 10). “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa : 1). “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah seraya berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS Ali Imran : 103). “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS Al-Anfal : 73). Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Orang-orang mukmin itu laksana satu tubuh manusia. Bila matanya sakit maka sakitlah seluruh tubuhnya atau bila kepalanya sakit maka sakitlah seluruh tubuhnya.” (HR. Muslim dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘Anhu)
’Barangsiapa yang tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka dia bukan dari golongan mereka (kaum muslimin).” (H.R. Ath-Thabrani dari Hudzaifah bin Yaman). ***
Dengan demikian maka Islam mesti bergerak di bumi ini untuk menghapuskan realita yang bertentangan dengan proklamasi umum itu, menyampaikan dakwah dan menjalankan gerakan sekaligus. Islam juga harus memberikan pukulan sekaligus terhadap segala macam pukulan pihak penguasa politik yang memaksa umat manusia mengabdikan diri kepada yang lain selain Allah.
Yaitu, yang memerintah mereka dengan memakai undang-undang dan syariat yang lain selain undang-undang dan syariat Allah, dan yang menutup umat manusia dari mendengar dakwah dan menganut akidah dengan aman dan bebas, tanpa dihalangi oleh kekuasaan apa pun.
Islam harus tegak dengan sistem sosial, ekonomi dan politik yang menjadikan gerakan pembebasan itu berjalan lancar dan teratur, setelah hapus kekuasaan yang menghalanginya, apakah kekuasaan itu berbentuk kekuasaan politik atau disertai dengan dasar-dasar perkauman, pertentangan kelas atau lain-lain.
Islam sama sekali tidak memaksa umat manusia menganut akidah atau kepercayaannya, tapi perlu diingat bahwa Islam bukan hanya suatu akidah. Seperti telah kita utarakan sebelumnya, Islam juga suatu proklamasi umum bagi pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama umat manusia.
Islam juga mempunyai suatu tujuan pokok untuk menghapus dan mengikis sistem dan pemerintahan yang berdasarkan penindasan dan pengabdian oleh umat manusia atas sesama umat manusia. Setelah setiap individu diberi kebebasan yang sejati untuk memilih sendiri akidah dan pegangan hidup masing-masing, berdasarkan kehendak dan pilihan sendiri dalam keadaan kebebasan sepenuhnya, setelah tiada lagi tekanan politik dan ancaman pihak berkuasa ke mereka, setelah ruh dan jiwa mereka mendapat sinar penerangan yang secukupnya mengenai Islam dan lain-lain agama dan pegangan hidup.
Kebebasan itu tidak pula berarti bahwa mereka bebas untuk bertuhankan hawa nafsu dan mereka merelakan diri untuk mengabdikan diri kepada sesama umat manusia, atau untuk menjadikan sesama umat manusia sebagai Tuhan yang dipatuhi segala suruhan dan larangannya, atau juga untuk mengabdikan diri kepada Tuhan yang lain daripada Allah saja.
Sesungguhnya sistem yang memerintah umat manusia di muka bumi ini hendaklah berdasarkan pengabdian diri umat manusia kepada Allah SWT. Yaitu dengan cara menerima undang-undang dan syariat Allah saja, di mana setiap individu mesti menerima arahan dan perintah Allah. Sesudah itu, bolehlah setiap individu menganut akidah apa pun yang mereka suka.
Dengan demikian, barulah agama itu menjadi kepunyaan Allah saja, sebab perkataan agama atau “addin” itu sendiri sebenarnya mengandung pengertian yang lebih luas daripada perkataan akidah. Addin ialah peraturan hidup dan undang-undang yang menguasai sendi-sendi kehidupan dan ia mesti berdasarkan akidah.
Di dalam Islam perkataan “addin” mencakup pengertian yang lebih luas daripada “akidah”. Dalam Islam, sebuah organisasi atau masyarakat bisa tunduk kepada program dan panduan umum Islam yang berasaskan pengabdian diri kepada Allah saja, walaupun ada unit-unit tertentu di dalam masyarakat itu yang tidak menganut akidah Islam.
Orang-orang yang mengerti akan tabiat agama ini (Islam) - mengikut cara yang telah diuraikan tadi - akan mengerti dan faham tentang betapa penting dan perlunya sebuah organisasi yang aktif dan dinamis yang dibawa oleh Islam dalam bentuk perjuangan dengan menggunakan kekuatan senjata di medan perang, di samping perjuangan di medan penerangan (dakwah).
Mereka juga tentu mengerti dan faham bahwa perjuangan Islam itu bukanlah suatu perjuangan untuk mempertahankan diri saja, menurut pengertian yang sempit, seperti yang dimaksudkan oleh orang-orang yang frustasi berhadapan dengan tekanan yang kononnya realita, atau dengan serangan dan kecaman kaum orientalis yang bermaksud hendak menggambarkan bahwa gerakan jihad di dalam Islam semata-mata suatu gerakan mempertahankan diri saja.
Seandainya gerakan jihad Islam itu terpaksa dinamakan sebagai “gerakan mempertahankan diri” maka kita perlu mengubah pengertian perkataan “bertahan” atau “pertahanan”. Kita mesti menganggapnya sebagai “pertahanan terhadap manusia” itu terdiri dari segala sebab yang menghalangi kebebasannya, baik yang berbentuk konsep atau cara berfikir, atau yang berbentuk susunan ekonomi atau pertentangan kelas yang telah kokoh. Islam datang dan terus wujud dalam beraneka bentuknya di zaman jahiliyah modern ini.
Dengan meluaskan pengertian kata “pertahanan”, kita bisa memahami hakikat gerakan Islam di BUMI ini dengan cara berjihad dan kita bisa mengerti hakikat Islam itu sendiri sebagai suatu proklamasi umum yang terbuka ke arah pembebasan umat manusia dari mengabdikan diri kepada sesama manusia dan dari mempertuhankan sesama umat manusia kepada pengakuan ketuhanan serta kekuasaan Allah untuk seluruh alam ini, menghancurkan kekuasaan hawa nafsu manusia di muka bumi ini.
Adapun usaha untuk menyempitkan pengertian jihad Islam dan menyebutnya sebagai gerakan “bertahan” mengikuti pengertian zaman modern ini, juga usaha untuk mencari alasan untuk memperkecil peristiwa-peristiwa jihad di dalam Islam. Bahwa, jihad semata-mata untuk menentang ancaman kekuatan luar terhadap negeri Islam, yang oleh sebagian orang dipandang bahwa negeri Islam ialah Semenanjung Arab saja, maka usaha itu adalah merupakan suatu usaha yang.berawal dari kurang pengertian mengenai tabiat agama ini dan tabiat peranannya dalam seluruh masalah di muka bumi ini, seperti juga usaha itu menekan sikap menyerah berhadapan dengan realita zaman modern dan kecaman pada orientalis terhadap pengertian jihad Islam.
Cobalah anda lihat dan fikir, seandainya Abu Bakar, Umar dan Usman r.a. merasa bahwa Semenanjung Arab itu selamat dari ancaman permusuhan dari kerajaan Romawi dan Parsi, adakah mereka berdiam diri saja tanpa menjalankan gerakan meluaskan pengaruh agama ini ke seluruh pelosok dunia?
Lihatlah lagi bagaimana mereka telah menyebarkan agama ini, sedangkan halangan dan rintangan begitu hebat menghalangi mereka, baik yang berbentuk sistem pemerintahan, sosial dan ekonomi, dengan dilindungi dan dikawal oleh negara-negara raksasa.
Adalah suatu kebodohan bahwa dakwah yang memproklamirkan kebebasan manusia untuk semua manusia di muka “bumi” dan negeri di dunia ini, kemudian hanya berdiri tegak menghadapi rintangan dan halangan dengan hanya bersenjatakan lidah dan pena saja!
Sesungguhnya dakwah ini berjuang melalui penerangan secara lisan dan pena saja ketika ia bebas berbicara dan berdialog dengan setiap orang dalam suasana penuh kebebasan dan kemerdekaan, tanpa dihalangi oleh apa pun. Ketika itulah baru dianggap berlakunya perintah dan dasar “tiada paksaan dalam beragama ( لااكراه في الدبن ). Tapi, bila ada halangan, maka hendaklah terlebih dahulu halangan itu dihapuskan dengan kekerasan dan paksaan, supaya dakwah bisa mengetuk pintu hati dan fikiran umat manusia dengan bebas, tanpa gangguan.
Jihad adalah syarat utama bagi perjalanan dakwah ini, karena tujuannya memproklamirkan kebebasan umum umat manusia hingga ia mampu menghadapi realita dari segenap segi. Ia tidak cukup dengan hanya memberi penerangan dan penjelasan seputar filsafat saja, sementara tanahair Islam, atau mengikuti istilah Islam yang sebenarnya “Negara Islam” (Darul-Islam) itu terancam oleh kekuatan negara asing.
Ketika Islam mencari perdamaian, maka yang dicarinya bukan sejenis perdamaian yang rendah mutu dan nilainya, yaitu semata-mata hendak mengamankan secuil tanah, yang didiami oleh kaum muslimin. Yang dikehendaki Islam ialah perdamaian yang menjamin bahwa kepatuhan umat manusia itu tertumpu sepenuhnya kepada Allah saja, dengan pengertian bahwa ketundukan dan kepatuhan umat manusia itu tertumpu dan tertumpah kepada Allah saja, baik soal ibadat maupun urusan hidup di dunia, tidak boleh sedikit pun tersisa pengabdian oleh manusia terhadap sesama manusia.
Penentuan sukses atau gagalnya jihad Islam itu tidak boleh dilihat dari putaran pertama, putaran pertengahan atau putaran akhir dari sesuatu perjuangan. Melainkan, dilihat dari sejauh mana dampak jihad terhadap kedudukan orang-orang kafir di dalam sesuatu negara; apakah dapat dijadikan seperti kedudukan mereka sebagaimana yang digambarkan oleh Imam Ibnul-Qayyim di dalam kitabnya Zaadul-Maad dengan arti bahwa akhimya manusia itu terbagi kepada tiga golongan, yaitu golongan orang Islam, golongan dzimmi dan golongan harbi yang senantiasa bimbang dan takut kepada orang Islam dan pemerintah Islam. Itulah indakator jika Jihad Islam berjalan di atas landasan yang sebenarnya. Tapi sekiranya kedudukan orang-orang kafir terus menerus dengan kufurnya, tanpa keraguan apa pun; maka nyatalah jihad Islam itu gagal.
Inilah dia sikap penuh nalar dari agama ini. Bukan seperti yang difahamkan oleh orang yang keliru dan frustasi dalam menghadapi realita zaman sekarang dan dalam menghadapi para orientalis yang penuh kelicikan itu.
Sesungguhnya Allah SWT telah menghindarkan orang-orang Mekah dan di zaman permulaan hijrah ke Madinah dari kewajiban berjihad. Umat Islam diperintah supaya “genggam tangan kamu dan dirikanlah sembahyang”". Setelah itu baru mereka diizinkan berperang, dengan perintah wahyu:
“Diizinkan kepada orang-orang Islam yang dimusuhi itu untuk berperang karena mereka telah dizalimi, dan sesungguhnya Allah Maha Berkuasa untuk menolong dan memberi kemenangan kepada mereka. [Yaitu] orang-orang yang telah diusir keluar dari negeri dan kampung halaman mereka dengan cara yang tidak benar, melainkan [semata-mata] disebabkan mereka berkata [menegaskan pendirian mereka “Allah Tuhan Kami”. Dan kalaulah bukan karena Allah membuat perimbangan di antara manusia niscaya runtuhlah tempat-tempat pertapaan gereja, tempat-tempat sembahyang [Yahudi] dan juga masjid-masjid tempat nama Allah disebut orang di dalamnya; dan Allah pasti akan menolong siapa saja [individu dan umat] yang menolong menegakkan agamanya, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuat [Berkuasa] dan Maha Mulia, yaitu orang-orang [individu dan umat Islam] yang bila Kami beri keteguhan kepada mereka [beri kekuasaan dan kedudukan yang baik] niscaya mereka menegakkan sembahyang dan membayar zakat, juga mereka memerintah dengan maaruf [dengan berpandu kepada ajaran Allah] dan mereka mencegah kemungkaran [sesuatu yang berlawan dengan perintah Allah] dan kepunyaan Allah jualah kesudahan segala masalah.” (Al-Haj: 39-41)
Kemudian mereka diperintah memerangi orang-orang dan atau golongan yang memerangi mereka terlebih dahulu dan dilarang memerangi orang atau golongan yang tidak memerangi mereka.
Firman Allah: “Dan hendaklah kamu sekalian berperang di jalan Allah [melawan] golongan dan orang yang memerangi kamu.” (Al-Baqarah: 19)
Kemudian baru mereka diperintah memerangi seluruh orang musyrik, melalui Firman:
“Maka hendaklah kamu sekalian memerangi kaum musyrikin seluruhnya seperti mereka memerangi kamu seluruhnya.” (At-taubah: 36)
Mereka juga telah diberi peringatan:
“Hendaklah kamu sekalian memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan orang-orang yang tidak mengharamkan apa yang Allah dan Rasul-Nya telah haramkan, dan tidak beragama dengan agama yang benar, yaitu dari golongan ahli kitab [Yahudi dan Kristen], sehingga mereka membayar jizyah dengan keadaan taat dan merendah diri.” (At-Taubah: 29)
Jadi, berperang itu menurut pendapat Imam Ibnul-Qayyim pada awalnya dilarang, kemudian dibenarkan, kemudian disuruh lakukan terhadap individu dan golongan yang memulai peperangan itu, kemudian diperintah supaya perang itu dilakukan ke atas seluruh orang musyrikin.
Ketegasan nas-nas Al-Quran yang diturunkan mengenai masalah jihad dan perjuangan, dan ketegasan hadis Nabi yang penuh berisi rangsangan untuk berperang dan juga ketegasan peristiwa-peristiwa dan bukti sejarah dari kejadian dan keadaan di zaman kebangkitan Islam dahulu sesungguhnya nas dan bukti yang begitu terang dan nyata itu mestinya menyekat otak dan fikiran kita dari menerima penafsiran ala orang yang frustasi dalam menghadapi tekanan realita zaman kini dan juga dalam menghadapi kecaman para orientalis mengenai pengertian jihad di dalam Islam.
Siapakah gerangan di kalangan orang yang mengenal Allah dan RasulNya dan mendengar perintah-Nya mengenai hal ini, dan orang yang mengikuti jejak perjuangan Islam di dalam masalah jihad di dalam Islam yang sampai hati menganggap bahwa perintah jihad di dalam Islam merupakan perkara sampingan saja, yang hanya berlaku dalam suasana tertentu saja untuk sekadar menjaga keselamatan negeri saja?
Sesungguhnya Allah SWT telah menerangkan kepada orang-orang beriman melalui ayat yang sudah jelas untuk memberi lampu hijau bagi melakukan perang, bahwa perkara yang selalu berlaku di dalam hidup di dunia ini ialah bahwa Allah senantiasa menjaga perimbangan antara sesama golongan umat manusia itu sendiri supaya terhindarlah kerusakan di bumi ini (Al-Haj: 39-40) yang telah dihuraikan tadi.
Sebenarnya larangan berperang di zaman Mekah itu tidak lain dari suatu tahapan zaman dalam perjuangan yang panjang. Demikian juga dengan larangan berperang di zaman permulaan hijrah. Motif yang mendorong masyarakat Islam di Madinah selepas itu untuk bertindak dengan tujuan untuk mengamankan Madinah saja.
Memanglah itu menjadi tujuan utama yang tak dapat dihindarkan lagi; tetapi tindakan itu mempunyai tujuan dasar bagi menjamin lancarnya tindakan itu yang akan mengamankan markas pergerakan; pergerakan untuk pembebasan umat manusia dan menghapuskan “halangan” yang menyekat manusia dari bergerak bebas dan bertindak mengikuti panduan yang telah digariskan oleh Islam. Larangan berperang yang dikenakan ke atas orang-orang Islam di zaman Mekah adalah merupakan suatu perkara yang mudah difahami.
Di Mekah terdapat kebebasan berdakwah. Ditambah pula oleh fakta bahwa sebagai pemimpin
perjuangan ini Rasulullah SAW telah mendapat perlindungan di bawah kawalan senjata Bani Hasyim. Beliau mendapat perlindungan untuk berdakwah dan mengetuk pintu hati dan fikiran setiap orang, juga untuk menghadapi ancaman orang-orang tertentu; juga karena di Mekah tiada sebarang kuasa politik yang teratur untuk menyekat beliau dari menjalankan kegiatan dakwah dan menyekat orang dari menutup telinga dan fikiran ke arah dakwah beliau. Dengan demikian tidak ada sebab, pada tahapan ini, untuk menggunakan kekuatan, di samping terdapat juga beberapa faktor lain di peringkat ini.
Boleh jadi tahapan periode Mekah waktu itu merupakan tahapan periode pendidikan dan membuat persediaan atau persiapan, di dalam keadaan masyarakat tertentu, untuk golongan kaum tertentu dan di tengah lingkungan keadaan yang tertentu pula.
Di antara tujuan utama pendidikan dan persiapan dalam suasana yang seperti itu ialah mendidik dan melatih jiwa dan semangat orang Arab supaya tabah dan sabar menanggung kesusahan serta tahan menderita, supaya setiap orang terlepas dari kungkungan rasa cinta diri, supaya
hati mereka tidak lagi terikat dengan kebiasaan mencari sesuatu untuk kepentingan diri sendiri saja.
Untuk mendidik mereka, diawali dari mengontrol saraf dan perasaan dari terus melakukan tindakan balas dendam, supaya tingkah laku dan tindak tanduknya dibuat dengan penuh teliti dan matang. Juga untuk mendidiknya hidup dalam masyarakat yang teratur yang tidak akan bertindak kecuali mengikuti garis yang telah ditetapkan oleh masyarakatnya, walaupun garis itu bertentangan dengan kepentingan dirinya, dan kebiasaan dan adat hidupnya. Ini merupakan dasar dalam menyediakan kepribadian masyarakat Islam yang tunduk di bawah satu pimpinan yang beradab.
Boleh jadi juga karena dakwah secara aman damai itu lebih berkesan seperti di dalam masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai sebuah masyarakat yang punya kebanggaan sendiri. Dalam tahapan ini, peperangan akan menyebabkan timbulnya kekerasan dan kekacauan seperti yang telah mencetuskan perang DAHIS dan AL GHABRA', pertempuran AL SABUS, bertahun-tahun lamanya, di mana beberapa suku dan qabilah menjadi musnah hancur. Kekacauan tersebut masih hangat dan kuat pengaruhnya di dalam ingatan mereka di zaman permulaan Islam.
Peperangan di awal dakwah pun akan menjadikan Islam terselewengkan dari suatu bentuk dakwah dan sebuah agama menjadi suatu pangkal permusuhan dan perpecahan; sedangkan ia (Islam) itu masih merupakan suatu hal baru.
Boleh jadi juga yang demikian karena hendak mengelakkan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, karena masih belum tampak suatu kekuasaan yang teratur dan dipatuhi orang, kekuasaan yang benar-benar berkerja menyiksa dan menganiaya serta menabur fitnah kepada orang-orang Islam. Kalau pun ada, pelakunya sebenarnya adalah perseorangan saja, pekerjaan individu yang punya banyak budak dan pengikut.
Dalam masyarakat seperti ini, peperangan berarti mencetuskan pertumpahan darah dalam setiap rumahtangga, yang menyebabkan orang bisa salah sangka dan salah tanggap terhadap Islam, lalu mereka katakan: itulah dia Islam! Memang tuduhan seperti itu telah dinyatakan orang walaupun sebenarnya Islam telah mencegah dan melarang perang dalam suasana seperti itu. Tuduhan seperti itulah yang menjadi modal utama kaum Quraisy dalam gerakan propaganda mereka menentang Islam di setiap musim haji. Mereka katakan Muhammad telah memecah belah kaumnya sendiri.
Bayangkan apa yang terjadi seandainya beliau sendiri pula yang menganjurkan peperangan total di kalangan masyarakat kecil seperti itu!
Boleh jadi juga karena Allah Maha Mengetahui bahwa banyak orang yang jahat, keras hati dan suka mengganggu orang Islam di generasi pertama, yaitu orang yang mula-mula menganut agama Islam di hari-hari pertama pelantikan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah, dengan tujuan memaksa mereka keluar murtad dari agama Islam dan kembali kepada agama syirik.
Gangguan ini dilakukan dengan bermacam cara, dengan teror dan siksaan, tapi ternyata kemudiannya, orang-orang itu sendiri pula menjadi tokoh penting dalam perjuangan agama Islam, malah ada pula yang menjadi pemimpin agung agama Islam. Bukankah Sayidina Umar bin AI Khattab salah seorang dari golongan ini?
Mungkin juga hal ini disebabkan oleh pengaruh sentimen kesukuan Arab dalam sebuah masyarakat yang masih kuat dipengaruhi oleh adat bersuku dan berkabilah. Dalam masyarakat seperti ini perbuatan menolong dan membantu orang teraniaya dan dalam kesusahan, adalah suatu perbuatan yang lumrah; apalagi kalau penganiayaan itu terjadi pada orang yang dihormati dan disegani.
Banyak peristiwa yang membuktikan kebenaran pandangan ini. Sebagai contoh: Ibnu
Daghnah tidak rela membiarkan Sayidina Abu Bakar, seorang hartawan yang disegani, keluar berhijrah ke Madinah dan meninggalkan kota Mekah. Dalam anggapan beliau, berhijrahnya orang seperti Sayidina Abu Bakar adalah berarti aib besar bagi orang Arab seluruhnya. Oleh karena itulah beliau telah datang meminta kesudian Sayidina Abu Bakar menjadi tetangganya, dengan janji bahwa beliau akan memberikan perlindungan kepadanya.
Di antara peristiwa terakhir yang membenarkan pendapat ini ialah usaha memecahkan kepungan (blokade) terhadap Bani Hasyim dan dikoyaknya surat pernyataan boikot ke Bani Hasyim
dari golongan Abu Talib setelah sekian lama mereka menderita lapar dan susah; sedangkan di dalam sebagian masyarakat “beradab” zaman dahulu yang biasa menentang penindasan, selalu saja bersikap masa bodoh terhadap kesusahan seperti itu. Sikap seperti ini bisa dianggap sebagai suatu sikap yang tercela dan berarti menghormati orang-orang zalim.
Boleh jadi juga karena sangat kecilnya jumlah orang-orang Islam ketika itu, sebab mereka hidup terkepung dalam kawasan di sekitar Mekah saja, karena dakwah Islamiyah belum sampai ke pelosok lain dan masih belum begitu didengar orang. Suku-suku lain tidak mau campur tangan di dalam urusan yang mereka pandang sebagai pertikaian dalam kalangan internal keluarga suku Quraisy, sehingga pertikaian itu selesai.
Seandainya peperangan diizinkan dalam suasana seperti ini, maka ia akan berkesudahan dengan tragedi penyembelihan massal terhadap orang-orang Islam yang terlalu kecil bilangannya itu; walaupun mereka akan melawan serangan itu. Ini akan mengakibatkan musnahnya umat Islam dan menyebabkan ia sukar untuk berkembang, sedangkan Islam itu sendiri adalah suatu panduan hidup untuk seluruh umat manusia.
Demikianlah seterusnya .....
Adapun di Madinah - zaman permulaan hijrah - maka sesungguhnya perjanjian yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dengan orang Yahudi dan kaum musyrik Madinah dan kawasan-kawasan sekitarnya (terkenal dalam sejarah Islam sebagai PIAGAM MADINAH, sebagai tanda terbentangnya sebuah negara modern di Madinah, (negara yang memenuhi syarat-syarat bernegara mengikut istilah ilmu kenegaraan di zaman modern ini), adalah merupakan suatu hal yang sangat sesuai dengan situasi dan kondisi.
Secara harfiah, hijrah artinya berpindah. Secara istilah, ia mengandung dua makna: hijrah makani (tempat) dan hijrah maknawi (nilai). Hijrah makani artinya hijrah secara fisik, berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik, dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebatilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya, hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah (hijrah sejati). Alasannya, hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani (fisik), jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah, menempuh padang pasir sejauh kurang lebih 450 km. Secara maknawi juga jelas, mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.
Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’ (loyalitas dan berlepas diri). Bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi (muwalah) yang paling penting. Penting, karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian, kesetiaan, dan pembelaan. Juga, menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi.
Dalam sejarah, para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah, dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas, kesetiaan, keimanan, yang berujung pada menuju yang lebih baik atas rida Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah, beliau telah melakukan hijrah beberapa kali, dari Babilon ke Palestina, dari Palestina ke Mesir, dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci. Termasuk, hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yang dalam perkembangannya menjadi syariat haji.
Adalah Ibrahim a.s. yang baru dikarunia Ismail, anak yang selama ini dinanti, harus meninggalkan Palestina bersama istrinya, Hajar, menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dengan hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya, Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu, sang istri menarik (menahan) tali kekang tunggangannya dan bertanya, “Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yang tiada tanaman, lagi tak bertuan?” Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar,” jawab Ibrahim. Hajar menimpali, “Jika demikian, Allah tidak akan mempersulit kami.”
Sungguh, sebuah dialog yang menusuk hati, merefleksikan keimanan yang amat dalam, sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yang menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yang begitu tinggi, bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan, Maha Memberi Rezeki, Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya, baik secara makani maupun maknawi.
Ibrah dari Hijrah
Pelajaran yang nyata dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah, tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah, bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta, rumah, pekerjaan, tanah air, dan sanak kadang. Secara lahiriyah, umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh, kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan, betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain.
Pelajaran lain, hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air, ia tidak akan bisa bertemu, karenanya, adalah sebuah utopia upaya-upaya “mengawinkan” antara nilai Islam dengan civic culture (budaya masyarakat) yang bertentangan dengan Islam, terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme.
Pelajaran berikutnya adalah perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya, tidak ada sikap “non-blok”. Allah SWT berfirman yang artinya, “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu, maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu.” (Al-Baqarah: 147).
Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh, rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik, katanya, dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya, berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati setiap muslim untuk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan, barangkali nasib umat Islam secara umum akan lebih baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya, para preman akan menghentikan aksi bromocorahnya, tidak ada lagi muslim penimbun, orang miskin akan bersuka cita karena kucuran infak para dermawan. Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yang kurang prinsip, dan seterusnya. Lantas, mengapa kenyataannya tidak demikian? Barangkali karena kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam.

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                    

Sabtu, 14 Agustus 2010

DIMANAKAH SIRATHOL MUSTAQIM ITU ?

Disunting oleh muhammad nizar. 

PENDAHULUAN

Allah swt berfirman, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian iti diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An'aam:153)
Imam Qurthubiy dalam tafsirnya menyatakan, "Ayat yang mulia ini berhubungan dengan ayat sebelumnya. Sesungguhnya pada saat Allah memaklumkan larangan dan perintah, Allah telah mengingatkan kaum muslim untuk tidak mengikuti jalan selain jalanNya. Di dalam ayat itu, Allah memerintah untuk mengikuti jalanNya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits shahih, dan perkataan salaf shaleh.
Menurut al-Fira' dan al-Kasaa'iy, "anna" harus dibaca nashab,” anna hadza shiraathiy” (dengan fathah). al-Fira' berkata, "Boleh dibaca dengan hafadl. Artinya, Allah telah mewasiatkan kepada kalian untuk mengikuti jalanNya. Sebab ini adalah jalanKu (bianna hadzaa shiraathiy). Sedangkan taqdiirnya (perkiraan maknanya) menurut al-Khalil dan Sibawaih, "Wa lianna hadzaa shiraathiy", sebagaimana firman Allah swt , "wa anna al-masaajid li al-Allah". Al-A'masy, Hamzah, dan al-Kasaaiy membaca, "wa inna hadza" dengan hamzah yang dikasrah; dan berkedudukan sebagai al-isti'naaf (permulaan). Al-Shiraath bermakna jalan, yakni dien al-Islam (agama Islam).
"Mustaqiiman" dinashabkan karena berkedudukan sebagai al-haal. Ma'nanya adalah tegak lurus tidak bengkok. Allah swt memerintahkan kaum muslim untuk mengikuti jalanNya, yakni jalan yang telah disampaikan Allah lewat lisan Nabiyullah Mohammad saw, dan yang telah disyariatkan Allah kepada beliau saw, dan yang akan berujung kepada surga. Barangsiapa menempuh jalan kebenaran maka ia selamat. Akan tetapi barangsiapa keluar dari jalan kebenaran tersebut, maka Allah akan menceburkannya ke neraka.
Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian iti diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An'aam:153)
Al-Darimi Abu Mohamad di dalam Musnadnya meriwayatkan dengan isnad shahih, "Mengabarkan kepada kami 'Affaan, meriwayatkan kepada kami Hummad bin Zaid, meriwayatkan kepada kami 'Ashim bin Bahrakah dari Abu Wail dari 'Abdullah bin Mas'ud, dan ia berkata, "Suatu hari Rasulullah menggambarkan kepada kami suatu garis, kemudian beliau saw bersabda, "Ini adalah jalan Allah, kemudian beliau menggaris garis lagi di samping kanan dan kirinya, kemudian bersabda, "Ini adalah jalan-jalan dimana syaithan mengajak ke dalam garis ini. Kemudian beliau saw membaca ayat ini .
Ibnu Majah mengeluarkan sebuah riwayat yang menyatakan, "Dan Rasulullah saw menggambar dua garis dari samping kirinya, kemudian meletakkan tangan beliau di garis yang tengah, kemudian bersabda, "Ini adalah jalan Allah, kemudian beliau membaca ayat ini, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya". (6:153).
Al-Subul di situ bermakna umum, mencakup agama orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan semua orang yang memiliki agama selain Islam, ahlu bid'ah, dan orang-orang sesat, dari golongan pemuja hawa nafsu dan dosa. Mujahid berkomentar atas firman Allah, "wa laa tattabi'uu al-subul", yakni bid'ah. Sebab, sebagaimana kita ketahui bid’ah adalah semua hal yang tidak berdasar kepada al-Quran dan Sunnah.
Ibnu Syihab berkata,"Ini sebagaimana firman Allah swt, "..yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (al-Ruum:32). Peringatan adalah peringatan. Keselamatan adalah keselamatan. Namun, keteguhan di jalan yang lurus --sebagaimana yang ditempuh oleh 'ulama-'ulama salaf-- akan berbuah pahala dan keberuntungan.
Para imam (ahlu hadits) meriwayatkan dari Abu Hurairah, "Rasulullah saw bersabda, "Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka ambillah, dan apa yang aku larang dari kalian, maka tinggalkanlah".
Ibnu Majah meriwayatkan dari 'Abd al-Rahman bin 'Amru al-Sulamiy, bahwa ia mendengar al-'Iradl bin Sariyah berkata, "Rasulullah saw menasehati kami dengan suatu nasehat, sampai air mata kami bercucuran, dan hati kami tersentuh. Kami bertanya, "Ya Rasulullah sesungguhnya nasehat ini seakan-akan nasehat terakhir (bagi kami). Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian al-baidla', yang malamnya bagaikan siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali akan binasa. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup, maka akan terjadi banyak perselisihan. Maka wajib bagi kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu, kalian wajib ta'at, walaupun terhadap budak hitam. Maka orang mukmin bagaikan onta yang dicocok hidungnya, yang mengikuti kemana orang yang membawa."
Mohammad bin Katsir telah meriwayatkan sebuah hadits dari Sufyan,”Seorang laki-laki mendatangi 'Umar bin 'Abd al-'Aziz dan bertanya kepadanya tentang qadar. "Kemudian beliau menjawab, amma ba'd. Aku berwasiat kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah swt, melaksanakan perintahNya, dan mengikuti sunah NabiNya saw, serta meninggalkan yang dibuat oleh para pembuat hadits setelah terjadi penyelewengan sunnahnya. Cukuplah beban untuk kalian. Kalian wajib terikat dengan sunnah. Maka atas ijin Allah kalian akan terjaga.....”
Sahal bin 'Abd al-Allah al-Mustariy berkata, "Kalian wajib mengikuti atsar dan sunnah. Aku takut akan datang suatu masa jika manusia diingatkan kepada Nabiyullah saw dan untuk mengikutinya dalam setiap kondisi, mereka mencelanya, berpaling darinya, menolaknya, mencelanya, dan meragukannya (dan sungguh telah datang di masa sekarang). Padahal Rasulullah saw bersabda, "Allah menghijab kebaikan para ahlu bid'ah."
Al-Fudlail bin 'Iyaadl berkata, "Barangsiapa mencintai ahlu bid'ah, maka Allah menolak amalnya, dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya. Sofyan al-Tsauri berkata, "Bid'ah lebih disukai oleh iblis, daripada ma'shiyyat. Sebab ma'shiyyat bisa diampuni, sedangkan bid'ah tidak."
Ibnu 'Abbas berkata, "Lihatlah seorang laki-laki ahli surga yang menyeru kepada sunnah dan menolak dari bid'ah dalam 'ibadah. Abu 'Aliyah berkata, "Kalian wajib berpegang kepada sunnah, dimana kalian harus selalu berjalan di atasnya , sebelum kalian bercerai-berai."
Sebagian 'ulama masyhur menyatakan bahwa ma'na dari sabda Rasulullah saw bahwa Bani Israel pecah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan terpecah 73 golongan, adalah," Firqah yang terdapat dalam firqah umat Nabi Mohammad saw adalah mereka yang memusuhi para 'ulama dan membenci para fuqaha. Perilaku semacam ini tidak pernah terjadi pada umat sebelumnya."
Rafi' bin Khadiij meriwayatkan , bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Akan ada pada umatku suatu kaum yang berdusta atas nama Allah dan al-Quran. Namun mereka tidak merasa (bahwa mereka tidak ubahnya) seperti orang-orang Yahudi dan Nashraniy ketika berdusta. Kemudian Rafi' bin Khadiij berkata,"Saya bertanya,” Bagaimana itu bisa terjadi Ya Rasulullah, dan bagaimana terjadinya?" Rasulullah saw bersabda, "Sebagian menerima, sebagian lain mendustakan?"
Namun, umat sekarang ini telah jauh dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Mereka menentang perintah Allah swt. Padahal Allah swt berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (al-Hasyr:7). Rasulullah saw bersabda, "Apa yang aku perintahkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang aku larang maka tinggalkanlah".
Penolakan kaum muslimin terhadap sunnah nabi-Nya dan perintah RabbNya telah mengakibatkan mereka ditimpa kehinaan, kemunduran, dan kebodohan, terpecah, belah, dan musibah seperti halnya musibah yang pernah ditimpakan kepada orang-orang yang telah memusuhi Islam. Lahirlah kemudian, para penguasa kaum muslimin yang menerapkan konstitusi-konstitusi kufur yang diadopsi dari negara-negara kafir. Mereka menentang firman Allah swt, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya.(6:153). Kemudian mereka mengikuti jalan-jalan sesat, dan meninggalkan jalan Allah yang lurus. Padahal, bukankah Allah swt berfirman, "Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (al-Maidah:50).
Pada dasarnya, seluruh aturan selain aturan Allah adalah aturan Thaghut, atau aturan Jahiliyyah. Apakah konstitusi Inggris, Perancis, Jerman, dan konstitusi buatan manusia lebih baik dari hukum Allah?
Allah swt berfirman di dalam surat al-An'am juga, "Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci?" (Al-An'am:114)
Imam Qurthubi dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, "Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang memberikan kamu perlindungan, padahal Dia telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan rinci dan jelas?
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Mohammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah dlolalah (kesesatan),dan setiap kesesatan ada di neraka."
Wahai kaum muslimin, bangkitlah dari tidur panjangmu! Bersihkan debu-debu kebodohan dan kemalasanmu! Bersungguh-sungguhlah kalian, untuk kembali kepada hukum al-Quran dan Sunnah, dimana didalamnya terhadap kebaikan bagi kalian di dunia dan akherat. Dan didalamnya terdapat petunjuk , kemuliaan, dan kejayaanmu. Renungkanlah sabda Rasululah saw, "Wajib bagi kamu untuk selalu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelah aku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu."
Wahai kaum muslim, janganlah kalian mentaati para penguasa yang menyuruh kalian ta'at kepada syaithan dan berma'shiyyat kepada Allah. Tidak ada keta'atan bagi makhluq dalam berma'shiyyat kepada al-Khaliq (Allah).
Allah swt berfirman, "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal merekat elah diperintah mengingkari thaghut itu. 
oleh JAKARTA ISLAMIC SENTER

 Bagi seseorang yang ingin mengetahui kesesatan sebuah paham atau
kelompok hendaknya dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yang
benar dan mana pemahaman yang salah.Banyak kita saksikan seseorang
kebingungan bila dia mendengar atau membaca pernyataan bahwa: Ini
adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah pemahaman yang menyeleweng!

Mengapa dia bingung?

Hal itu terjadi tidak lain karena dia belum mengetahui perkara yang
benar dan yang salah. Kebingungan ini tidak hanya melanda orang awam
saja. Akan tetapi para pelajar,mahasiswa dan kalangan intelek pun
mengalami hal yang sama.Untuk itu sudah seharusnya seorang itu
terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara
tentang firqah-firqah sesat semacam Syi'ah, Mu'tazilah, Jahmiyah dan
lain-lainnya tidak akan merasa heran."

Berdasarkan hal itu, untuk menimbang, untuk mengukur apakah sebuah
kelompok berada di atas al-Haq terlebih dahulu kita harus mengetahui
kebenaran. Kalau kita malas, mencari tahu kebenaran tersebut, yang
terjadi adalah peringatan seseorang dikatakan sebagai hujatan.
Bagaimana mungkin kita akan mengerti, kalau kita sendiri malas
mencari kebenaran tersebut, hanya terpaku pada yang dia dapat, tidak
mau menganalisa karya-karya ulama, tidak mau mempelajari ilmu agama
dan ilmu-ilmu yang menunjang pengamalan agama ini ?

Yang benar saja tidak tahu, lalu ditambah kemalasan membaca dan
mengikuti kajian-kajian kitab para ulama, bagaimana mungkin
mengetahui kesesatan sebuah kelompok. Padahal untuk itu, tidak
dibutuhkan waktu yang panjang, hanya butuh kesabaran. Hanya perlu
meluangkan waktu tiga kali seminggu dan setiap kali hanya butuh satu
sampai dua jam, tidak pernah lebih, bahkan kurang.

Sama saja halnya tentang masalah dengan apa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam berdakwah ? Dari mana beliau memulainya?

Sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai
penutup para rasul, memulai dakwahnya sebagaimana dakwah para rasul
sebelumnya yakni dakwah tauhid. Dan seruan ini bagaikan petir yang
menyambar telinga orang-orang kafir Quraisy sehingga mereka berkata:

"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?
Sesunggguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan
pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya) berkata: 'Pergilah kamu
dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar
suatu hal yang dikehendaki." (Shad: 5-6)

Di bawah ini sekadar gambaran ringkas tentang manhaj dakwah
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam berdakwah, apa yang
beliau dahulukan, apakah tauhid ataukah politik. Dengan ini, kita
sudah bisa menilai apakah dakwah suatu kelompok itu benar ataukah
salah?

Wallahu 'alam bishawab.

Manhaj Para Nabi Dan Rasul Dalam Berdakwah

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya Manhajul
Anbiya' fi Dakwah ilallah hal 41-44:

"Allah berfirman :

"Dan sesungguhanya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut itu.
Maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan adapula diantaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatannya, maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaiman kesudahanya orang-orang yang mendustakan(Rasul-rasul)."(An
Nahl: 36)

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sembahan yang haq
melainkan Aku" (Al Anbiya:25)

"Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah
amal yang shalih. Sesungguhanya Aku Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan . Sesungguhanya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua ,
agama yang satui dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-KU"
(Al Mukminun : 51-52)

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata:

"Agama kalian wahai para Nabi adalah satu,yaitu berdakwah untuk
beribadah hanya kepad Allah saja, tidak ada sekutu bagiNYa" (Ibnu
Katsir 3/257)

Adapun dalam As-Sunnah yang semakna dengan ayat diatas adalah sabda
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam :

"Aku adalah manusia yang paling layak dengan ISA bin Maryam di dunia
dan akhirat. Dan para Nabi itu saudara 'allat(1), ibu mereka berbeda-
beda tapi agama mereka satu" [HR Bukhari (3443), Muslim 4/1837, dan
Ahmad 2/319, 406,483]

Ini adalah dakwah seluruh para Nabi, khususnya para Ulul'Azmi
diantara mereka. Dakwah mereka semua berjalan diatas satu manhaj dan
mereka semua memulainya dengan tauhid, karena adalah masalah terbesar
umat manusia dari zaman ke zaman. Dakwah yang dilakukan para Nabi dan
Rasul tersebut membuktikan bahwa tauhidlah satu-satunya jalan yang
harus ditempuh dalam mendakwahi manusia ke jalan Allah. Dakwa ke
jalan tauhid juga sunnatullah yang telah digariskan untuk para nabi-
Nya dan pengikut-pengikut mereka yang sejati, tidak boleh ditukar dan
tidak boleh menyimpang dari padanya."

Dalam tafsir Ibnu Katsir hal: 123-125 dinyatakan:

"Tidak dibolehkan secara syara maupun akal untuk menyimpang dari
manhaj ini dan memilih manhaj yang lain, karena beberapa sebab:

1. Manhaj ini (dakwah kepada tauhid) adalah jalan yang paling lurus
yang telah digariskan Allah untuk semua para nabi, dari  yang paling
awal sampai yang paling akhir. Allahlah pelekat  manhaj ini dan Allah
yang menciptakan manusia. Dia adalah  Dzat yang Maha Tahu akan
kemaslahatan rohani dan jiwa mereka.

2.  Para nabi dan rasul telah mempraktekkan manhaj ini dengan sungguh-
sungguh dan ini menunjukkan bahwa manhaj ini bukan hasil ijtihad.
Oleh karena itu, kita tidak akan menjumpai didalamnya: seorang nabi
yang memulai dakwahnya dengan tashawuf, seorang nabi yang memulai
dakwah dengan filsafat dan ilmu kalam; ataupun memulai dengan
politik. Justru kita dapati mereka menempuh satu manhaj dan
perhatikan mereka  mempunyai hanya satu yaitu tauhidullah. Inilah
yang mereka letakkan di peringkat pertama.

3 Apabila kembali kepada Al Quran , kita akan temui bahwa  semua
rasul, aqidahnya sama adalah tauhidullah dan dakwahnya dimulai dengan
tauhid. Tauhid ini adalah masalah terpenting dan terbesar dari apa
yang mereka bawa. Kita akan jumpai pula bahwa Allah memerintahkan
kepada nabi kita r unbtuk mengikuti dan menempuh manhaj para rasul
terdahuku. Apabila kita menelaah perjalanan dakwah nabi kita, niscaya
kita jumpai bahwa dakwah beliau dari awal hingga akhir difokuskan
pada masalah tauhid dan memberantas syirik dan sebab-sebab yang
menjerumuskan padanya.1)  Dinukil dari Majalah Salafy Edisi
III/Syawal/1416/1996, hal. 30-31

Salah satu contoh tahap dakwah yang dicontohkan oleh Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal
radhiallahu anhu ke Yaman untuk berdakwah. beliau shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab (Yahudi dan
Nashara), maka apabila engkau mendatangi mereka. Serulah mereka agar
bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah dan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah utusan
Allah. Kalau mereka mentaati engkau dengan seruanmu itu, maka
beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima
waktu sehari semalam. Maka bila mereka mentaati kamu dengan seruanmu
itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diserahkan
kepada orang-orang fakir mereka. Apabila mereka mentaati kamu dalam
perkara itu, maka hati-hatilah kami dari harta-harta yang berharga
milik mereka dan takutlah terhadap doanya orang yang teraniaya,
karena tidak ada hijab (dinding batas) antara dia dengan Allah (yakni
doanya makbul,pent.) (HR. Bukhari dalam Shahihnya serta di Fathul
Bari, 8/64, hadits no.4347, serta Muslim dalam Shahihnya Syarah
Nawawi, 1/195-196, kitab Al-Iman, bab Ad-Du'a ilaa Syahadatain wa
Syara'i'il Islam dari Ibnu Abbas dari Muadz bin Jabal
radhiallahu 'anhuma).

Dalam menerangkan makna hadits ini Imam Nawani rahimahullah
menyatakan:

"Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menertibkan demikian dalam
berdakwah kepada Islam. Beliau mulai dari perkara yang terpenting
kemudian yang penting. Engkau lihat hadits ini bahwa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam mendahulukan kewajiban shalat sebelum
zakat. Dan tidak seorang pun (dari ulama -pent) yang mengatakan bahwa
seorang itu diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan zakat.
Wallahu 'alam." Demikian Imam Nawawi rahimahullah menerangkan dalam
syarahnya terhadap Shahih Muslim, jilid 1, hal. 198.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah menerangkan hadits
ini dalam kitab beliau Al Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid jilid 1
hal.129. antara lain beliau mengatakan:

"Nabi shalallahu 'alaihi wasallam memberitahukan situasi jaman kepada
dai beliau sebelum diutus karena dua perkara:

1. Dai haruslah mengerti keadaan yang didakwahi.

2. Dai haruslah dalam keadaan siap dengan ilmu karena mereka  para
mad'u (yang didakwahi) adalah ahlul kitab dan mereka ini  dalam
keadaan mempunyai ilmu." ( Dinukil dari Majalah Salafy Edisi
XII/Rajab/1417/1996, hal. 58).

Semua itu adalah gambaran sekilas tentang manhaj para nabi dan rasul
dalam berdakwah ke jalan Allah yang wajib bagi semua dai untuk
ittiba' dan menempuh apa yang mereka tempuh. Untuk lebih

lanjut dapat dilihat Manhajul Anbiya' fid Dakwah ilallah karya Syaih
Rabi bin Hadi Al Madkhali.

Dakwah Tauhid Adalah Dakwah Yang Utama Dan Terpenting

Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan berkata dalam muqaddimah kitab
Minhajul Anbiya fi Da'wati Ilallah setelah menyebutkan 7 prinsip atau
asas dakwah yang benar,Jika da'wah tidak berdiri di atas asas-asas di
atas; jika manhajnya tidak berdiri di atas manhaj para rasul, maka
perjalanan da'wah akan berujung pada kegagalan. Hanya kelelahan dan
kerugian yang didapat oleh pelaku da'wahnya, tanpa menyisakan faedah
sedikit pun.

sjemlah jama'ah da'wah yang ada pada masa kini, merupakan contoh
memprihatinkan. Mereka sengaja membuat khittah perjuangan sebagai
manhaj bagi da'wahnya, sedangkan manhaj itu bertentangan dengan
manhaj para rasul. Manhaj da'wah mereka lalai akan seruan yang sangat
prinsip, kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakan aqidah. Mereka
justru berkutat habis dalam memperjuangkan masalah lainnya.
Adakalanya menyeru kepada perbaikan sistem pemerintahan, politik, dan
tuntutan tegaknya hukum dan pelaksanaan syari'at dalam memutuskan
perkara yang timbul di antara manusia.

Sungguh pun perjuangan dalam hal-hal tersebut merupakan persoalan
penting, namun bukan yang terpenting. Bagaimana kita menuntut
ditegakkannya pelaksanaan hukum Allah terhadap pencuri, penzina dan
lain-lainnya sebelum kita menuntut dilaksankannya hukum Allah atas
diri orang musyrik? Mengapa kita menuntut pelaksanaan hukum Allah
atas perkara riba, sebelum kita menuntut pelaksanaan hukum Allah bagi
hamba-hamba pengabdi keberhalaan dalam berbagai bentuknya; dan atas
orang-orang yang ingkar terhadap Asma Allah dan Sifat-Nya, mereka
yang menta'thilkan (menolak meyakini) sejumlah dalil yang menunjukkan
kepada kebenarannya?

Tidakkah kemusyrikan itu lebih durhaka dibandingkan pencurian, dan
memakan riba? Sebenarnya zina, mencuri, dan yang sejenisnya adalah
perbuatan yang menyangkut "hak hamba", sedangkan kemusyrikan adalah
suatu tindak kejahatan menyangkut hak Allah. BUKANKAH HAK ALLAH HARUS
DIDAHULUKAN DARIPADA HAK HAMBA?

Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah,menyatakan pendapatnya bahwa dosa-
dosa seperti zina, minum khamr, dan mencuri selama masih disertai
dengan lurusnya tauhid, akan lebih baik dibandingkan rusaknya tauhid
tetapi tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut. (Ibnu
Taimiyyah, Al-Istiqamah vol. 1, hal. 466)

Termasuk dalam jama'ah yang perlu meluruskan manhaj da'wahnya adalah
jama'ah yang dalam perjuangan lebih memfokuskan kepada persoalan
syiar-syiar ta'abbudi, berusaha keras untuk mengerjakan zikir-zikir
verbal mengikuti metode sufisme, atau mengutamakan kegiatan rihlah,
melakukan perjalanan dan rekreasi dalam da'wahnya. Mereka berharap
sebanyak mungkin orang dapat bisa berhimpun bersama dalam kegiatan-
kegiatan semacam itu, namun tidak memberikan perhatian yang cukup
bagi penegakan akidah. Inilah jalan yang ditempuh ahli bid'ah, karena
mereka memutarbalikkan marhalah yang ditempuh para rasul. Yang
terjadi adalah: yang semestinya di belakang, dijadikan di depan; yang
seharusnya diakhirkan, didahulukan; bermaksud mengobati suatu bagian
dari tubuh namun hakikatnya dengan membiarkan organ yang paling
penting tetap dan bertambah rusak, sebab aqidah dalam tubuh kita ini
adalah bagian yang paling pokok.

Kiranya sejumlah jama'ah da'wah yang ada pada saat sekarang ini,
perlu memperhatikan dan mengenali kembali manhaj da'wah menuju jalan
Allah, dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi.

Jika kita telusuri kembali sejarah perjuangan para rasul, maka kita
dapat saksikan bahwa dialog-dialog antara para rasul dan pembesar-
pembesar dari kaumnya, justru terjadi setelah disampaikannya perkara
aqidah yang benar, agar mereka mengabdi kepada Allah saja dan
meninggalkan seluruh bentuk ibadah yang ditujukan kepada selain-Nya.

Dalam bahasa lain, kekuasaan dan pemerintahan, baru bisa diperoleh
oleh jama'ah da'wah setelah tersebarnya dan diterimanya seruan aqidah
yang benar saja yang mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah
saja.

Marilah kita perhatikan janji Allah yang pasti ditepati, jika kita
telah memenuhi kriteria orang yang beriman, sebagaimana firmanNya:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55)

Sedemikian jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini sejumlah
jama'ah dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara aqidah-
aqidah watsaniyyah al-mutamatstsilah, masih menjadi anutan penduduk
negerinya. Masih banyak orang yang menyembah orang mati dan menjalin
kontak dengan kuburan-kuburan, suatu praktek kemusyrikan besar yang
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para penyembah Latta dan Uzza
serta Manat, bahkan jauh lebih besar darinya.

Siapa yang menginginkan keluhuran tanpa harus bekerja keras, maka
untuk memperolehnya haruslah dengan menyia-nyiakan umur.

Jika kita berkeras untuk menegakkan hukum syari'at, yang mengandung
arti penegakan hukum perdata maupun pidana serta penegakan Daulah
Islamiyah, menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh
kewajiban; yang semuanya itu merupakan perkara-perkara yang termasuk
hak-hak tauhid berikut kesempurnaannya; tidakkah itu berarti bahwa
kita tengah berusaha untuk memenuhi hak-hak tauhid, sedangkan tauhid
yang prinsip itu sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid
didahulukan, sedang tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? 
Tidakkah itu berarti furu ditegakkan sedangkan yang paling ushul 
ditelantarkan?

Menurut hemat kami, apa yang terjadi pada jama'ah-jama'ah yang
berdiri di atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para rasul
dalam metode da'wah kepada Allah, adalah suatu kebodohan; padahal
bagi orang jahil tak patut menjadi da'i; sebab termasuk persyaratan
terpenting dalam da'wah adalah "ilmu", sebagaimana Allah berfirman
kepada Nabi-Nya:

"Katakanlah: Inilah jalan (Din)-ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." 
(Yusuf: 108)

Kita perhatikan bahwa jama'ah-jama'ah da'wah yang menisbatkan kepada
kepentingan da'wah, memiliki khittah dan manhaj yang berbeda-beda.
Khittah suatu jama'ah tidak dimiliki jama'ah yang lainnya. Ini
merupakan satu indikasi bahwa manhaj jama'ah tersebut bertentangan
dengan manhaj para rasul, sebab manhaj para rasul itu hanya satu,
tidak terbagi-bagi, tidak bermacam-macam, dan tidak pula ikhtilaf,
sebagaimana firman Allah yang tertera pada surat Yusuf, seperti
tersebut dahulu.

Maka jika benar jama'ah da'wah itu mengikuti manhaj Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam, mengikuti jalan yang satu ini, pasti
mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf dikarenakan
bertentangan dengan jalan ini. Allah berfirman:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya...." (Al-An'am:
153)

Perbedaan dan pertentangan manhaj antar jama'ah justru membahayakan
bagi Islam itu sendiri, sehingga kita layak untuk menolak masuk ke
dalamnya, berlepas diri darinya, dan tidak menggolongkannya ke dalam
jama'ah da'wah Islam, sebab telah jelas bahwa mereka bukan dari
Islam, tak memiliki kesesuaian dengan manhaj Islam, sebagaimana
firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi bergolong-golongan, tak ada sedikit pun tanggung jawabmu
terhadap mereka." (Al-An'am: 159)

Telah menjadi keyakinan yang pasti, Islam selalu menyeru kepada
persatuan (ijtima) di atas kebenaran, sebagaimana firmanNya:

"Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali (dien)
Allah, dan janganlah kamu (sekali-kali) bercerai-berai." (Ali Imran:
103)

Dengan memperhatikan keadaan jama'ah da'wah yang sedemikian
memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya jama'ah ulama untuk
menjelaskan manhaj jama'ah yang benar, sebagaimana manhaj para nabi
dalam berda'wah kepada Allah, serta menyingkapkan pergeseran dan
penyimpangan dari manhaj itu, yang kini dialami oleh sejumlah jam'ah
da'wah. Dengan demikian diharapkan jama'ah-jama'ah itu dengan penuh
kesadaran dapat melakukan koreksi, sampai kebenaran ditemukan dan
dipegang teguh. Sesungguhnya al-haq itu merupakan barang yang hilang
bagi mu'min.

Kesimpulan 
sirathol mustaqim/jalan yang lurus adalah jalan yang akan membawa kita pada keselamatan didunia dan akhirat, yakni jalan kita didunia ini.apakah perjalan hidup dan kehidupan yang kita jalani sesuai koredor agama islam manhaz rasul atau manhaz thogud.
semua kembali pada diri masing-masing.
Disunting dari :Milis As-Sunnah

 
dakwatuna.com - Allah Yang Mahaagung menghendaki agar dakwah dilakukan dengan seluruh sarana kemanusiaan. Seorang dai wajib mencari berbagai cara yang manusiawi untuk mensukseskan dakwahnya. Karena itu Rasulullah saw. tidak selalu berkata, “Hal ini telah diwahyukan kepadaku.” Tapi beliau lebih sering berkata, “Aku punya cara dan ide lain.” Bahkan di Perang Uhud sebagian sahabat berbeda pendapat dengan Nabi dalam hal taktis dan strategi perang, padahal Nabi berada di tengah-tengah mereka dan wahyu turun kepada beliau.
Firman Allah لا يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286) adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut. Pembebanan adalah perkara yang menyulitkan. Karena itu harus berbanding lurus dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata, “Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hambanya –sejak ayat ini diturunkan– dengan amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya. Artinya, Allah tidak membebani apa-apa yang terlintas dalam perasaan dan tercetus dalam hati.”
Banyak orang memahami ayat ini dengan mengatakan, kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang. Oleh karena itu, kemampuan dapat berubah-ubah tergantung dengan motivasi. Ada orang yang tidak mampu, ada orang yang mampu. Tentu saja pendapat ini keliru. Sebab, para sahabat mencontohkan secara nyata kepada kita bahwa mereka berkomitmen dengan seluruh kapasitas kemampuan mereka.
Jika kita buka lembaran sirah sahabat, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari misalnya. Beliau wafat di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupnya di Pulau Qobros, Yunani. Uqbah bin Amir meninggal di Mesir. Bilal dimakamkan di Syria. Demikianlah mereka mengembara ke segala penjuru dunia untuk berdakwah. Mereka mengerahkan semua yang berharga dalam hidupnya untuk meninggikan panji Islam. Begitulah semestinya memahami ayat لا يكلف الله نفساً إلا وسعها.
Pada Perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orang-orang musyrik. Usaid bin Hudhair r.a. berkata, “سمعاً وطاعة لله ولرسوله”. Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal ia baru saja mengobati tujuh buah luka yang bersarang di tubuhnya. Bahkan dalam peperangan “Hamra Al-Asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam keadaan terluka. Di antara mereka adalah Thufail bin Nu’man dengan 13 luka di tubuhnya dan Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa:
“الإرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع وجود الوسائل والإمكانيات.”
“Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan, walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan. Sebaliknya, kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia.”
Karena itulah Allah swt. menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa, ada pahala yang besar.” (Ali Imran: 172)
Kemampuan dan Keinginan
Kemampuan untuk berdakwah adalah dorongan kehendak jiwa dan melaksanakannya atas izin Allah. Bila dorongan itu tidak ada pada diri seseorang, maka ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi saw. mengajarkan kita untuk berdoa:
” اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال”
“Ya Allah, aku berlindungan kepadaMu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepadaMu dari dilingkupi utang dan dominasi manusia.”
Rasulullah saw. juga bersabda:
” للمؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير، احرص على ما ينفعك
واستعن بالله ولا تعجز”
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Segala sesuatunya lebih baik. Tampakanlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya.” (Muslim)
Sesungguhnya perasaan tak berdaya dan tidak punya kemampuan yang selalu diucapkan berulang kali oleh para dai hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju kendaraan dakwah. Bila seorang dai tidak berani membangun dakwahnya tanpa ada perasaan takut, hal itu akan menghancurkan dakwahnya. Bila seorang dai tidak tahan menghadap kritikan, ia tidak akan pernah maju. Ia tidak akan sampai pada kemampuan memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir).
Batas Kemampuan Kapasitas Dai
Apakah batasan kemampuan seorang dai dalam berdakwah? Jawabnya ada di firman Allah berikut ini:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal: 74)
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (At-Taubah: 20)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيم ٍ(10) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (11)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (Ash-Shaff: 11)
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41)
Maksud dari firman Allah swt.: انفروا خفافاً وثقالاً, sama saja apakah kalian dalam keadaaan ringan untuk pergi berjihad atau dalam keadaan berat. Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama, ringan, karena bersemangat untuk keluar berjihad; berat, karena merasa sulit untuk berangkat. Kedua, ringan, karena sedikit keluarga yang ditinggalkan; berat, karena banyaknya keluarga yang ditinggalkan. Ketiga, ringan, ringan persenjataan yang dibawa; sebaliknya berat, karena beratnya persenjataan yang dibawa. Keempat, ringan, karena berkendaraan; berat, karena berjalan kaki. Kelima, ringan, karena masih muda; berat, karena telah uzur usia. Keenam, ringan, karena bobot badan yang kurus; berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh, ringan, karena sehat dan fit; berat, karena sakit atau kurang enak badan. Jadi, mencakup seluruh aspek.
Kebanyakan para sahabat dan tabi’in memahami ayat itu dengan pengertian yang mutlak. Mujahid berkata, “Sesungguhnya Abu Ayub turut menyaksikan Peperangan Badar bersama Rasulullah saw., dan ia belum pernah absen dari peperangan. Ia berkata, ‘Allah telah berfirman: انفروا خفافاً وثقالاً, maka itu artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat’.” Dari Shofwan bin Amr, ia berkata, “Ketika aku menjadi Gubernur Hums (Syria), aku menjumpai seorang bapak tua warga Syria yang telah turun kedua alisnya. Ia berada di atas kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Wahai Paman, engkau dimaklumi oleh Allah untuk tidak ikut berperang.’ Seraya mengangkat kedua alisnya, bapak tua itu berkata, ‘Hai Nak, Allah telah menyuruh kita keluar baik dalam keadaan ringan maupun berat. Ketahuilah, sesungguhnya Allah selalu menguji orang yang dicintainya.’”
Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry, suatu ketika Said bin Al-Musayyib r.a. keluar untuk berperang, sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. Lalu ia berkata, “Allah meminta kita untuk keluar berperang, baik terasa ringan atau berat. Jika aku tak berdaya untuk berjihad, maka berarti aku telah memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku.” Juga ketika Al-Miqdad bin Al-Aswad dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak berperang, “Engkau dimaklumi.” Lalu ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kita surah Al-Bara’ah: pergilah dalam keadaan ringan ataupun berat.”
Dakwah Adalah Manuver Di Jalan Allah
Manuver di jalan Allah, tidak hanya berperang. Tapi punya pengertian yang luas. Dakwah –dengan segala bentuknya– adalah bentuk manuver di jalan Allah. Karena itu dalam surat At-Taubah Allah swt. menyebutkan:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Imam Ar-Razy berkata, “Kewajiban berdakwah bagi para sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu golongan keluar untuk berperang, golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah saw. Golongan yang berperang mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut berperang mewakili yang berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan. Dengan cara inilah urusan agama dapat terselesaikan secara sempurna.
Bila kita analisis ada dua keterkaitan yang erat pada ayat tersebut, keterkaitan antara manuver tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar (dakwah). Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk memaksimalkan kesungguhannya dan ditanya tentang beban kemampuan dirinya untuk membela agama Islam dengan bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan dakwah penuh hikmah dan nasihat yang baik hingga jihad dengan mengorbankan jiwa-raga.
Seorang mukmin sadar betul bahwa setiap kesungguhan yang dikerahkannya dalam ketakwaan adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan manusiawi dirinya yang lemah dan tidak akan sampai pada derajat yang sesuai dengan keagungan Allah swt. Karena itu para mufassirin berpendapat bahwa firman Allah: اتقوا الله حق تقاته “bertakwalah engkau kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa” (Ali Imran: 102), di-mansukh dengan ayat فاتقوا الله ما استطعتم , “bertakwalah kepada Allah semampu kalian”. Hal ini didasari oleh keterangan dalam asbabunnuzul bahwasanya tatkala ayat pertama turun kaum muslimin merasa keberatan karena sebenar-benarnya takwa berarti tidak boleh bermaksiat sekejap mata pun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu diingat, tidak boleh lupa. Tiada seorang hamba pun mampu melakukannya.
Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka harus dikatakan –wallahu a’lam–ada dua kapasitas ketakwaan: kapasitas yang hanya pantas untuk Allah swt. dan kapasitas ketakwaan yang sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda pada satu kondisi dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mukmin harus senantiasa berada di antara dua kapasitas tersebut. Berusaha mengarah kepada keagungan Allah swt., karena bagi seorang Mukmin esok harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya seorang Mukmin harus meningkatkan level ketakwaannya bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan, bertambahnya kenikmatan yang diperolehnya, dan bertambahnya usia.
Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas, pasti dirinya akan merasa takut jika belum mengerahkan kemampuan sesuai yang dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam melaksanakannya. Seorang Mukmin yang paham akan hal ini selalu tidak puas dengan amalnya, tidak puas dengan kesungguhan yang telah dikerahkannya. Ia selalu khawatir telah mengabaikan tuntutan yang diminta Allah swt. dari seorang Mukmin. Itulah keadaan orang-orang yang beriman, sebagimana yang disebutkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ(57)وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ(58)وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ(59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ(60)أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ(61)وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ(62)
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62).” (Al-Mu’minun: 57- 62)
Kehati-hatian dan Rasa Takut
Salah satu sifat orang-orang Mukmin yang disebutkan ayat tersebut di atas adalah kehati-hatian dan rasa takut. Kehati-hatian mencakup kekhawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak berdaya. Imam Ar-Razy berkata, “Di antara mereka ada yang cenderung mengartikan isyfaq dari presfektif pengaruhnya, yaitu الدوام في الطاعة, ketaatan yang kontinu, dan makna ayat tersebut menjadi الذين هم من خشية ربهم دائمون في طاعته , orang-orang yang taat secara kontinu karena takut kepada Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya, bila seseorang sampai pada perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian. Kesempurnaan rasa takut adalah puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab akhirat, sehingga ia selalu menghindari maksiat. Maka, barangsiapa yang memiliki kesempurnaan rasa takut kepada Allah, ia akan memenuhi perintah Allah unuk berdakwah, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan keadaan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, maksudnya adalah komitmen menyampaikan setiap kebenaran. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah dan ia marasa takut dari sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi rasa takut tersebut, ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya.
Rasa takut terhadap kekurangan yang menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya dalam bertakwa adalah level para shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bahwa sebab rasa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah swt. Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa mereka bersih dari riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang) serta mengarahkan keinginan-keinginan kepada optimalisasi amal.
Setelah arahan tersebut di atas, ayat-ayat di surah Al-Mu’minun itu mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas seseorang. Ia dapat berhujjah ولا نكلف نفساً إلا وسعها. Tampaklah keterpaduan antara seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan Allah yang senantiasa mengetahui hakekat kemampuan yang diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang dai ke tingkat rasa takut dan hati-hati akan sampai pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas kemampuan.

TAUKID KEKUATAN SPIRITUAL MUSLIM

 OLEH MUHAMMAD NIZAR.

 TAUKID

MENOLAK MENGABDI SELAIN KEPADA ALLAH

Seorang muslim meyakini bahwa tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar, dan merupakan salah satu syarat  diterimanya amal perbuatan disamping harus sesuai dengan tuntunan rasulullah.
Tauhid (Arab :توحيد), adalah konsep dalam aqidah Islam yang menyatakan keesaan Allah.
Tauhid dibagi menjadi 3 macam yakni tauhid rububiyah, uluhiyah dan Asma wa Sifat. Mengamalkan tauhid dan menjauhi syirik merupakan konsekuensi dari kalimat sahadat yang telah diikrarkan oleh seorang muslim.
Allah Subhaanahu Wa Ta'aalaa berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu" (QS An Nahl: 36)
"Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan" (QS At Taubah: 31)
"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)" (QS Az Zumar: 2-3)
 Periode dakwah yg dilakukan Rasulullah saw. di Makkah menegaskan betapa tauhid sangat urgen pengaruhnya. Ayat-ayat Alquran yg diturunkan Allah pada fase itu fokus utamanya berbicara tentang tauhid. Generasi sahabat mereka yg dibina Rasulullah saw. adl manusia-manusia yg bertauhid yg tidak dijumpai di permukaan bumi ini sebelum dan sesudahnya. Tauhid mampu merubah manusia menjadi manusia yg perilakunya sesuai dgn keinginan Allah SWT. Mungkinkah kita menjadi orang yg bertauhid seperti yg diinginkan? Dengan berdoa dan memohon taufik dari-Nya Insya Allah kita bisa mencapai ke arah itu minimal pemahaman tauhid kita tidak melenceng dari rambu-rambu yg ditetapkan Allah. Semua itu memerlukan pemahaman yg benar akan tauhid dari sumbernya yg autentik yaitu Alquran dan Sunah serta kitab-kitab tauhid yg diakui keabsahannya oleh ulama-ulama Islam dahulu dan sekarang. Untuk mendapatkan pemahaman yg benar dari sumber ilmu yg autentik maka perlu merujuk kepada pehamaman generasi teladan umat yaitu generasi salaf. Kelurusan dan keteladanannya dalam beragama dan beraqidah tidak diragukan lagi krn mereka mewarisi apa yg telah diajarkan Rasulullah saw. Allah SWT telah memberikan penilaian terhadap generasi tersebut akan keteladanan dan keutamaannya dari umat-umat atau generasi-generasi lainnya. Allah SWT telah berfirman “Kalian adl umat yg terbaik yg dilahirkan utk manusia menyuruh kepada yg ma’ruf dan mencegah kepada yg mungkar dan beriman kepada Allah.” . Demikian juga sabda Rasulullah saw “Sebaik-baik generasi ialah generasiku kemudian generasi sesudah mereka kemudian generasi yg sesudah mereka kemudian setelah itu datang pula kaum-kaum yg persaksiannya mendahului sumpahnya .” . Jadi generasi umat yg dapat dijadikan suri tauladan adl tiga generasi semenjak generasi Rasulullah saw sampai generasi tabi’it tabiin yaitu Generasi sejaman dgn Rasulullah saw sahabat ra . Generasi sesudah mereka tabi’in . Generasi yg sesudah mereka tabi’it tabi’in sampai abad ke-3 H. Inilah tiga generasi pertama umat Islam generasi yg terpercaya dalam menyampaikan agama Allah SWT. Kepada merekalah kita merujuk segala pemahaman agama Islam ini yg benar dan lurus melalui merekalah kita mengambil ilmu syariat agama ini yg telah Rasulullah saw ajarkan dan mereka ini adl generasi yg menumbuhkan sunnah-sunnah Rasulullah saw. Banyak sekali sumber-sumber rujukan ilmu agama yg telah diwariskan oleh generasi kaum salaf. Dan juga generasi sesudahnya yg mengikuti jejaknya yg lurus dan dapat dipercaya. Akan tetapi di antara pemahaman yg lurus itu telah muncul pula pemahaman yg menyimpang yg menyebabkan umat Islam ini berpecah-pecah atau bergolong-golongan. Masing-masing dari golongan yg telah menyimpang itu juga mengklaim bahwa golongan sendirilah yg pemahamannya benar sedangkan yg lain salah. Maka benarlah apa yg telah disabdakan oleh Rasulullah saw “Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan kepada beliau “Siapakah mereka wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab “Orang-orang yg mengikutiku dan para sahabatku.” . Dengan memahami persoalan tersebut di atas maka kita sadar bahwa tiap Muslim perlu mencari dan mendapatkan pemahaman agama yg banar dan lurus yg tidak dibelokkan oleh kaum yg bodoh dan menuruti hawa nafsunya serta kepentingan kelompoknya. Hanya atas petunjuk dan pertolongan Allah sajalah kita dapat mengikuti jejak Rasulullah saw di dalam beribadah kepada-Nya. Maka dgn mengharap pertolongan petunjuk taufik dan hidayah-Nya di dalam rubrik “TAUHID” ini www.alislam.or.id berusaha menyajikan kepada pemahaman yg lurus sesuai dgn pemahaman salafussalih dari umat ini. I. MUKADIMAH TAUHID A. Tauhid Merupakan Dakwah Semua Rasul Bahwa semua rasul yg diutus kepada umat manusia mempunyai kesamaan tujuan adl sebuah aksioma yg mesti diketahui tiap Muslim. Hal itu dijelaskan dgn rinci oleh Allah SWT dalam firmannya di beberapa tempat dalam Alquran. Firman Allah tentang rasul pertama Nuh as“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkat ‘Wahai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selan-Nya. Sesungguhnya kalau kamu tidak menyembah Allah aku takut kamu akan di timpa azab hari yg besar .” Firman Allah menjelaskan tentang perkataan Hud as kepada kaumnya“Dan Kami telah mengutus kepada ‘Ad saudara mereka Hud ia berkata ‘Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepadanya.” Firman Allah tentang perkataan Saleh as kepada kaumnya“Dan Kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka Saleh. Ia berkata ‘Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selan-Nya.” Firman Allah tentang perkataan Su’aib kepada kaumnya“Dan Kami telah mengutus kepada penduduk Madyan saudara mereka Su’aib. Ia berkata ‘Hai kaumku sembahlah Allah sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Penjelasan Allah tentang diutusnya tiap rasul“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat ‘Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” Penjelasan Allah tentang rasul-rasul sebelum Muhammad”Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku maka sembahlah oleh mu sekalian akan Aku.” Penegasan Rasulullah saw tentang tauhid“Saya diperintahkan utk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan yg Haq disembah selain Allah SWT dan bahwa Muhammad adl utusan Allah.” . Dari uraian di atas maka kewajiban seorang Muslim yg pertama dan utama adl menauhidkan Allah SWT dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw adl utusannya dgn menunaikan kewajiban-kewajiban yg dicakup oleh kalimat sahadatain itu. B. Macam-Macam Tauhid Tauhid terbagi menjadi tiga macam Tauhid Rububiyah Tauhid Uluhiyah Tauhid Asma dan Sifat
C. Urgensi Tauhid dan Korelasinya dalam Menghapus Dosa Firman Allah “Orang-orang yg beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dgn kezaliman mereka itulah orang-orang yg mendapat keamanan dan mereka itu adl orang-orang yg mendapat petunjuk.” Abdullah ra ia berkata “Ketika ayat ini turun kami berkata kepada Rasulullah saw ‘Wahai Rasulullah siapakah di antara kami yg tidak menzalimi dirinya?’ Beliau bersabda ‘Bukanlah maksudnya seperti yg kalian katakan maksudnya adl syirik tidakkah kalian mendengar perkataan Lukman kepada anaknya ‘Hai anakku janganlah kamu mempersekutukan Allah sesungguhnya mempersekutukan Allah adl benar-benar kezaliman yg besar.” Dari Ubadah bin Shamit ra ia berkata Rasulullah saw bersabda “Barang siapa bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah tiada sekutu baginya dan Muhammad adl hamba dan Rasulnya dan bahwa Isa as adl hamba Allah dan Rasulnya ia adl kalimat-Nya yg dianugerahkan kepada Maryam sebagai ruh dari-Nya dan bersaksi bahwa surga dan neraka adl kebenaran yg haq maka Allah akan memasukkannya kedalam surga dgn amalan apapun yg pernah ia kerjakan.” Hadits Itban ra meriwayatkan bahwa Allah mengharamkan neraka terhadap orang yg berkata “Tiada Tuhan selain Allah dgn tujuan ikhlas krn Allah.” Hadis-hadis di atas juga yg semisal dengannya menjelaskan keutamaan kalimat tauhid tidaklah hanya sebatas ucapan yg dilafalkan mulut semata namun ia memerlukan konsekwensi dari orang yg mengucapkannya. Karena tidaklah kaum Musrikin Quraisy dahulu tidak bisa melafalkannya tetapi mereka mengetahui konsekwensi jika mereka mengucapkan kalimat itu tentunya hidahyah dan taufik Allah juga tidak masuk kepada mereka. D. Tanya Jawab a. Tanya Apakah macam-macam tauhid dan jelaskan definisinya? Jawab Macam-macam tauhid ada tiga Tauhid Rububiyah Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Asma wa Sifat. Tauhid Rububiyah adl mengesakan Allah dalam hal mencipta memberi rezeki menghidupkan mematikan dan yg semacamnya seperti mengelola apa yg ada di langit dan di bumi. Serta mengesakan Allah dalam menentukan hukum dan perundang-undangan dgn mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Firman Allah “Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yg telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa lalu Dia bersemayam di atas Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yg mengikutinya dgn cepat dan diciptakannya pula matahari bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah Allah. Maha Suci Allah Tuhan semesta alam.” Tauhid Uluhiyah ialah mengesakan Allah dalam beribadah hanya kepadanya tidak menyembah selai-Nya tidak berdo’a kecuali kepadanya tidak memohon pertolongan kecuali kepadanya tidak bernadzar atau menyembelih binatang kecuali bagi-Nya. Firman Allah “Katakanlah ‘Sesungguhnya shalatku ibadatku hidupku dan matiku hanyalah utk Allah tuhan sekalian alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yg diperintahkan kepadaku dan aku adl orang yg pertama-tama menyerahkan diri kepada Allah.” Tauhid Asma wa Sifat adl mensifatkan Allah dan menamakan-Nya sesuai dgn apa yg disifatkan dan dinamakan oleh Allah sendiri dan sesuai dgn apa yg disifatkan dan dinamakan oleh Rasulullah saw kepada-Nya dalam hadis-hadis sahih dan menetapkan bagi-Nya tanpa menyerupakan mempermisalkan dan tanpa mentakwilkannya. Firman Allah “Tidak ada sesuatupun yg serupa dgn Dia dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” . Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sumber file al_islam.chm
h kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus" (QS Al Bayinah: 5)

MENOLAK MENGABDI SELAIN KEPADA ALLAH

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang Lâ ilâha illa Allâh adalah ungkapan paling murni dalam lubuk fitrah manusia. Rasulullah saw datang ke tengah umat manusia dengan mengumandangkan kalimat “Lâ ilâha illa Allâh” (tiada tuhan selain Allah) itu; sebagai pernyataan utama dari pesan kenabian (kerasulan), yang merupakan landasan paling penting bagi pembebasan dan kemerdekaan manusia.
Sebagian kelompok dalam masyarakat yang menobatkan diri sebagai kalangan elit, para pembesar, kepala-kepala suku (dan bangsa) yang merasa memiliki kewibawaan dan kemuliaan (secara sosial, ekonomi, dan politik) menjadi kelompok yang berdiri di barisan paling depan dalam menentang panggilan fitrah tersebut. Mereka juga mempengaruhi dan mengomandani anggota masyarakat lainnya untuk melawan (seruan) Rasulullah saw. Pada mulanya mereka menggunakan ejekan, kritik sinis, olok-olok, dan celaan, yang mencerminkan cara-cara primitif dan tidak beradab dalam pergaulan sosial.
Mereka melakukan itu karena kebencian terhadap seruan Rasulullah saw. Selanjutnya rasa benci itu berkembang sebagai bentuk permusuhan, yang menjadikan celaan dan ejekan sebagai alat yang dianggap paling tepat dengan mempropagandakannya berulang-ulang demi hendak menyaingi langkah gerak tauhid (pengesaan Tuhan) yang diperjuangkan Rasulullah saw sejak awal hingga akhir. Kelompok-kelompok lain yang berada di bawah pengaruh mereka juga terdorong (melakukan hal serupa) masuk ke dalam arena kebencian dan permusuhan terhadap Rasulullah saw dan orang-orang mukmin.
Pada fase awal perjuangan Islam, sejarah kemudian mencatat bagian-bagian kisah memalukan dan tak bermoral telah dilakukan oleh para penentang tauhid yang terjadi selama tidak kurang dari tiga belas tahun sebelum hijrah Nabi Muhammad saw (dari Mekkah) ke Madinah. Catatan sejarah ini mengungkap berbagai fakta yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh karena di dalamnya memuat proses perjuangan yang dapat meyakinkan kita atas pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, khususnya tauhid. (Tauhid adalah kata inti dan terpenting dalam Islam, yang menjadi pembuka dan penutup ajarannya). Bagi kita, satu di antara sekian banyak kejadian yang paling memilukan dalam perjalanan hidup ini adalah perubahan bentuk dan pemutarbalikan konsep tauhid. Hal ini seharusnya dicermati–oleh setiap orang yang menyatakan dirinya merdeka– sebagai sebuah tragedi paling menyedihkan dalam kehidupan. Sebab, dengan menerima penyelewengan konsep yang paling fundamental dalam agama ini, berarti kita tidak dapat lagi menemukan konsep lain yang bisa memberi hasil nyata dalam mewujudkan kemerdekaan dan pembebasan manusia di sepanjang jalan peradaban. Tauhid datang kepada umat manusia sebagai tanda dan bentuk pembebasan dari setiap penindasan.
Dalam menegakkan peradaban manusia, sejauh yang kita kenal, para nabi dan rasul–sebagai pembawa risalah Ilahi–menjadi titik sentral dari pergerakan yang begitu penting demi (menuju) kebaikan dan kemaslahatan manusia. Gerakannya bertujuan membebaskan masyarakat dari penindasan, kekejaman, diskriminasi, dan tindakan yang melampaui batas, mengganggu dan merusak.
Bagian terpenting dari moralitas (dan akhlak) yang terkandung dalam ajaran agama-agama besar, menurut Erich Fromm, meliputi gagasan dan cita-cita tentang pengetahuan, persaudaraan (mencintai sesama), mengurangi penderitaan manusia, pembebasan atau kemerdekaan diri, serta adanya tanggung jawab terhadap setiap bentuk perbuatan. Tentu saja, pelaksanaan dari cita-cita mulia seperti ini tidak bisa diharap dan ditemui dari para peneliti materialis. Sebenarnya, gagasan dan cita-cita tersebut dapat disebut sebagai beberapa bentuk perwujudan “tauhid”. Nabi Muhammad saw, sambil mengarahkan para pendengarnya pada tauhid, senantiasa mengungkap pesan-pesan yang mereka jadikan slogan itu, dengan mengejawantahkan tauhid dalam kenyataan (yakni, dalam perilaku sehari-hari). Dalam garis perjuangan Nabi Muhammad saw, setiap ajakan harus bisa dipraktikkan dan sang penyeru harus mewujudkannya (lebih dahulu) dalam tingkah laku. Karena itu, sungguh keadaan yang patut disesalkan jika mereka–yang mengklaim bertauhid dan mengikuti gagasan dan cita-cita luhur di atas– menganggap bahwa konsep tauhid sebagai sesuatu yang tak dapat dipraktikkan, atau malah menjadi teka-teki yang membingungkan, atau hal yang menyesatkan lainnya. Atau mereka mengira bahwa semua pemikirannya (tauhid) cuma sebagai konsumsi pikiran (otak) saja yang hanya ditimbang sepintas lalu dan hanya dirasa perlu dan dicari-cari (pemahamannya) ketika gagasan dan pemikiran (tauhid) itu dilontarkan kepada mereka. Penolakan dan penentangan yang terjadi pada periode awal terbitnya Islam mengungkapkan bukti berharga berkenaan dengan syiar dan pemahaman terhadap konsep ketauhidan. Bukti tersebut adalah: bahwa semboyan lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah) telah menjadi hantaman telak terutama bagi orang-orang yang geram (sambil menggemertakkan gigi) lantaran kebencian dan permusuhan.
Gerakan tauhid mendapat perlawanan sengit dari kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat dengan mengerahkan seluruh keutamaan, kewibawaan, dan kekuatan (sosial-politik) yang menjadi haknya. Orientasi sosial sebuah (konsep) pemikiran dan gerakan Ilahiah, dengan berbagai bentuk kegiatannya, dapat dilihat dengan baik melalui reaksi kelompok-kelompok yang memusuhi gerakan atau pemikiran Ilahiah tersebut. Reaksi musuh tersebut akan memperlihatkan dengan jelas–tentu melalui penelitian–sifat-sifat mereka berikut pendukungnya.
Dengan meneliti bentuk interaksi sosial yang terjadi bisa diketahui bahwa penentangan suatu kelompok masyarakat tertentu pada umumnya berhubungan dengan usaha-usaha pergerakan dan pemikiran tersebut. Kuatnya kebencian pihak musuh merupakan tantangan yang menguji kualitas dan kekuatan sebuah gerakan. Ternyata, penelitian terhadap kondisi semacam itu menghasilkan pemilahan terhadap masyarakat menjadi dua kelompok; satu golongan sebagai pendukung gerakan, yang berhadapan dengan golongan lain sebagai musuhnya. Sehingga –belajar dari semua itu– kita kemudian bisa mempertimbangkan dan memilih jalan mana yang maslahat, aman, dan bijaksana, guna menemukan pemahaman yang benar dari suatu gerakan suci (ketuhanan).
Dengan mengamati secara teliti kondisi masyarakat tersebut, kita melihat adanya kelompok berpengaruh yang memiliki kekuatan (sosial, ekonomi, dan politik) yang besar. Mereka biasanya menjadi lapisan pertama yang menentang panggilan Ilahi (agama). Mereka mewujudkan seluruh bentuk penentangan itu dengan daya upaya sebaik dan sekuat mungkin dari yang mereka mampu lakukan.
Oleh karena itu, kita dapat memahami dengan jelas bahwa suatu agama atau gerakan Ilahiah biasanya (lazim) menghadapi kelompok seperti itu. Bentuk yang terkandung dalam setiap seruan agama (Ilahi) ialah perlawanan terhadap sifat dan sikap mereka yang melampaui batas, juga terhadap kekuatan atau kekayaan yang diperoleh secara curang, selain perlawanan secara mendasar terhadap segala bentuk diskriminasi sosial. Dengan menggunakan ketauhidan dalam menimbang permasalahan, berarti kita berhadapan dengan simbol-simbol kebesaran dan kemuliaan yang ditempatkan secara keliru dalam masyarakat.
Simbol-simbol itu digunakan oleh sebagian orang untuk memanipulasi, membodohi, dan menindas anggota masyarakat yang lain. Jadi, konteks tauhid sesungguhnya bukanlah sekadar urusan pemikiran, atau teori, atau sebagai filsafat, atau suatu ungkapan dan syair indah semata –sebagaimana hal ini telah menjadi sebuah kekeliruan (kesalahkaprahan) yang merata dalam pemahaman masyarakat (umumnya). Tetapi, tauhid adalah asas terpenting bagi manusia untuk melihat keberadaan alam semesta, menyadari posisi diri dan memperbaiki akhlak, di samping keberadaannya sebagai doktrin sosial, ekonomi, dan politik. Dalam peristilahan dan literatur keagamaan serta wacana yang lain, tauhid memiliki pengertian paling luas dalam pergerakan masyarakat. Tauhid dapat tumbuh subur dan mudah berkembang karena ia dapat memberikan pengaruh kuat bagi setiap konsep konstruktif dan revolusioner, sekaligus menutupi aspek-aspek buruk dan diskriminatif dalam kehidupan sosial.
Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap bahwa pemikiran dan gerakan tauhid hanyalah sebagai proses kebetulan dalam peradaban. Seluruh pernyataan dan gerakan Ilahiah yang terjadi dalam sejarah justru mengisyaratkan dan tertuju pada satu titik, yakni kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah; bahwa pencipta dan pengatur alam semesta beserta seluruh isinya hanyalah Dia, dan semua akan kembali kepada-Nya.
Manusia hidup di dunia ini pasti mempunyai maksud dan tujuan tertentu, Allah swt telah menjelaskan didalam Al Quran bahwa jin dan manusia telah diciptakan memiliki maksud dan tujuan untuk beribadah kepadaNya. Firman Allah “telah aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz-Dzariat (51):56). Makna ibadah menurut ulama Tauhid adalah meng-Esakan Allah SWT dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukkan jiwa setunduk-tunduknya kepadaNya. (Ahmad Tib, 2003:137). Sedangkan makna ibadah adalah taat kepada Allah dengan menjalankan apa yang telah diperintahkan-Nya melalui lesan-lesan para Rosul. (Hasan, 1994:27). Sifat ketundukan dan pengakuan bahwa yang Maha Esa hanyalah Allah, adalah bekal seorang hamba dalam manjalankan tugas ibadah. Dengan mentaati perintah dan cara-cara yang Rosul ajarkan, seorang hamba akan lebih termotifasi ketaatannya dalam beribadah kepada Allah.
Pada waktu nabi menerima wahyu Al Quran, mulai saat itu pula ia menyebarkan misi keagamaan, dan reformasi sosial. Reaksi masyarakat Mekkah pada umumnya, khususnya suku Quraisy yang juga merupakan suku nabi sendiri menolak dan menentang secara ekstrim. Tetapi nabi berteguh dan terus berjuang untuk meraih sejumlah pengikut dalam masa lebih dari 13 tahun selama misinya di Mekkah. Secara umum disepakati bahwa periode Mekkah, Al Quran dan sunnah lebih banyak berisi tentang ajaran Agama (Tauhid) dan Moral. (Abdullahi ahmed, 2004:21). Tauhid sebagai ilmu, baru dikenal ratusan tahun setelah Nabi Muhammad wafat. Istilah ilmu Tauhid itu sendiri baru muncul pada abad ketiga Hijriyah. Tepatnya dizaman pemerintahan khalifah Al Makmun, Kholifah ketujuh dinasti Bani Abas. (Yusran Asmuni, 2003:03) .Meskipun inti pokok risalah Nabi Muhammad saw adalah tauhid, namun pada masa beliau Tauhid belum merupakan ilmu keislaman yang berdiri sendiri, tetapi Tauhid sudah terbukti mampu menjadi pilar perjuangan umat Islam.
Muhammad Abduh mendefinisikan makna tauhid sebagai suatu ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib tetap padaNy, sifat-sifat yang boleh disifatkan kepadaNya dan tentang sifat-sifat yang sama sekali wajib dilenyapkan dari padaNya, juga membahas tentang Rosul-rosul Allah meyakinkan kerosulan mereka, dan apa yang terlarang menghubungkannya kepada diri mereka. (Muhammad Abduh, 1979 : 36). Musa Asy'arie menambahkan bahwa makna Tauhid menurut pandangan filsafat Islam adalah suatu sistem pandangan hidup yang menegaskan adanya proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan semua yang ada, berasal dan bersumber hanya pada satu Tuhan saja, yang menjadi asas kesatauan ciptaanNya dalam berbagai bentuk, jenis dan bidang kehidupan. (Asy'arie. 2002 : 181). Dari dua pandangan ini, ternyata Tauhid memiliki tema pembahasan dan peran yang sangat penting dalam membentuk pribadi seorang muslim. Tauhid yang menjadi proses satu kesatuan dan tunggal kemanunggalan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan yang bersumber pada satu Tuhan saja, haruslah menjadi falsafah hidup seorang muslim.
Dalam pandangan Islam, Tauhid bukan sekedar mengenal dan memahami bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, buka sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud dan ke-Esa-an Nya serta bukan sekedar mengenal asma dan sifat-sifatNya, tetapi yang paling pokok dari itu adalah penerimaan dan resfons cinta kasih dan kehendak Tuhan yang dialamatkan kepada manusia. Namun yang terpenting adalah agar sikap ketauhidan ini dapat menyemangati kehidupan sehingga bukan hanya keshalehan individu yang kita harapkan dapat terwujud, melainkan juga keshalehan dan ketaqwaan sosialnya
Pandangan Hasan Hanafi yang di kutip oleh Kazuo Shimogaki menyebutkan bahawa, selama dalam sistem sosial masyarakat masih ada kesenjangan antara si kaya dengan miskin, adanya golongan penindas dan tertindas maka selama itu pula masyarakat dibalut oleh paham syirik (Shimogaki, 2003:20). Pengingkaran terhadap makna tauhid adalah perbuatan syirik, karena syirik bukan semata-mata tindakan yang ujudnya adalah penyembahan berhala atau kesukaan pergi kekuburan yang maknanya dalam ibadah, melainkan juga penguasaan manusia atas manusia lain.
Bagi seorang muslim dalam konteks Teologi, Tauhid adalah pernyataan iman kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, dalam suatu sistem, karena pernyataan iman seseorang kepada Tuhan, bukan hanya kepada pengakuan lesan, pikiran dan hati atau kalbu, tetapi juga tindakan dan aktualisasi, yang diwujudkan dan tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. . (Asy'arie. 2002 : 182). Dari berbagai pandangan tentang makna tauhid yang di maknai oleh Muhammad Abduh, Musa Asyari, dan Hasan Hanafi, dapat di tarik kesimpula bahwa makna Tauhid adalah tema sentral yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat Allah, dan Rosul-rosul Allah yang mempunyai konsekuensi dalam kehidupan berupa praktek sosial umat Islam yang konkrit.

Doktrin tauhid yang menjadi ruh kekuatan Islam tidak pernah hilang dari perjalanan sejarah, walaupun aktualisasinya dalam dimensi kehidupan tidak selalu menjadi kenyataan. Dengan kata lain, kepercayaan kepada ke-Esa-an Allah belum tentu terkait dengan prilaku umat dalam kiprah kesejarahannya. Padahal, sejarah membuktikan bahwa tauhid menjadi senjata yang hebat dalam menancapkan pilar-pilar kesejarahan Islam.
Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang akan dilakukan. Allah menjelaskan dalam firmanNya bahwa, orang yang mengerjakan amal saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang mereka dalam keadaan beriman maka oleh Allah akan diberikan kehidupan yang baik dan juga akan diberi balasan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (An-Nahl: 97).
Dalam konteks ini, orang kemudian mempertanyakan praktek sosial Islam yang dianggap tidak komprehensif. Praktek sosial Islam ini banyak dibahasakan dengan berbagai istilah, antara lain Tauhid Sosial. Adie Usman Musa mengutip dari Syafi’i Ma’arif, beliau menyebutkan bahwa Tauhid Sosial sebagai dimensi praksis dari resiko keimanan kepada Allah SWT. Doktrin ini sudah sangat dini dideklarasikan Al-Qur’an, yaitu pada masa Mekkah tahun-tahun awal. Secara substasial, gagasan Tauhid Sosial Syafi’i Ma’arif menggambarkan dua hal: pertama, iman adalah kekuatan yang menjadi pilar utama perjalanan sejarah umat Islam. Kedua, iman harus mampu menjawab dimensi praksis persoalan keummatan.(Ade Usman, 2006. http:// my.opra.Com/adieusman/htm) Memilih Islam adalah menjalani suatu pola kehidupan yang utuh dan terpadu (integrated), di bawah prinsip-prinsip tauhid. Setiap aspek kehidupan yang dijalani merupakan refleksi dari prinsip-prinsip tauhid.
Islam menolak pola kehidupan yang fragmentatif, dikotomik, dan juga sinkretik. Praktek kehidupan seperti ini telah ditunjukkan dalam perjalanan kerasulan Muhammad yang diteruskan oleh sebagian generasi setelahnya. Islam berprinsip pada tauhid, lebih dari segalanya. Sehingga kekuatan tauhid inilah yang menjadi pengawal dan pusat dari semua orientasi nilai Artinya, kekuatan tauhid ini harus diaktualisasikan, bukan hanya tersimpan dalam teks-teks suci. Masyarakat yang adil harus didirikan dalam prinsip ‘amrun bi al-ma’ruf wa nahyun ‘ani al-munkar’. Tugas ini dibebankan pada rasul, pemerintah dan umat yang beriman secara keseluruhan, yang kemudian terwujud dalam dimensi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam perspektif yang berbeda, cendekiawan muslim, Kuntowojoyo, menyatakan bahwa nilai-nilai Islam sebenarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar Islam sebenarnya adalah melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai tersebut. (Kuntowijoyo, 1991 : 197). Di dalam Al-Qur’an kita sering sekali membaca seruan agar manusia itu beriman, dan kemudian beramal. Dalam surah Al-Baqarah ayat kedua misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman, ‘percaya kepada yang gaib’, kemudian mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut dapat dilihat adanya trilogi iman-shalat-zakat. Sementara dalam formulasi lain, ada juga trilogi iman-ilmu-amal. Dengan memperhatikan ini, penulis menyimpulkan bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya, tauhid harus diaktualisasikan: pusat keimanan Islam adalah Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia.
Manusia memiliki dua kekuatan. Pertama, Nazairah (penyelidikan) puncaknya adalah mengenal hakekat sesuatu menurut keadaan yang sebenarnya. Dua, Amaliah (tindakan) puncaknya melaksanakan menurut semestinya dalam urusan hidup dan penghidupan. (Syulthut, 1994 : 49). Oleh sebab itu tauhid juga bisa dibagi dalam dua tahapan dalam aktualisasinya, tauhid i'tiqadi ilmi (keyakinan teoritis) dengan tauhid amali suluki (amal perbuatan praktis) atau dengan istilah lain dua ketauhidan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. (Qordhawi,1996:33). Kedua bentuk kekuatan tauhid ini mempunyai keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan, maka keduanya harus dijalankan secara seimbang.
AM Fatwa menegaskan bahwa setiap perbuatan pribadi akan menyebabkan berbagai implikasi kemasyarakatan, maka tanggung jawab pribadi itu memberi akibat adanya tanggung jawab sosial. Inilah yang sering dipahami dari rahasia susunan Al Quran bahwa setiap kali Kitab Suci menyabut kata iman (aamanu) yang merupakan perbuatan peribadi selalu diikuti dengan penyebutan amal saleh (aamilus shalihati) yang merupakan tindakan kemasyarakatan. (AM. Fatwa, 2001:51). Jika tauhid teoritis dapat melakukan perubahan batiniah dan pembebasan spiritual, maka tauhid praktis dapat melakukan rekonstruksi dan reformasi sosial. Tauhid ibadah atau tauhid praktis inilah yang di istilahkan oleh Prof. Dr. Amin Rais dengan sebutan Tauhid Soaial.
Prof. Dr. Amin Rais mengatakan bahwa yang dimaksud tauhid Sosial adalah dimensi sosial dari Tauhidullah. Dimaksudkan agar tauhid Ilahiyah dan Rububiyah yang sudah tertanam di kalangan kaum muslimin dan muslimat, bisa diturunkan lagi kedataran pergaulan sosial, realitas sosial, secara konkrit. ( Rais, 1998: 108) Dengan demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai. Sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai. Dalam konteks inilah Islam disebut sebagai rahmatan li al’alamin, rahmat untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan. Dengan melihat penjelasan diatas, Tauhid Sosial sebenarnya merupakan perwujudan aksi sosial Islam dalam konteks menjadikannya sebagai rahmatan li al’alamin. Proses menuju ke arah itu harus dimulai dari penguatan dimensi tauhid, kemudian dimensi epistemik, lalu masuk dalam dimensi amal berupa praktek sosial kepada sesama manusia. Dengan kata lain bahwa Tauhidull
Oleh. Immawan Luqman Novanto
Takmir Masjid Tanwir Komlepk PTM Jl. Tidar No 21
ah harus diujudkan dalam praktek sosial.