Sabtu, 14 Agustus 2010

DIMANAKAH SIRATHOL MUSTAQIM ITU ?

Disunting oleh muhammad nizar. 

PENDAHULUAN

Allah swt berfirman, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian iti diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An'aam:153)
Imam Qurthubiy dalam tafsirnya menyatakan, "Ayat yang mulia ini berhubungan dengan ayat sebelumnya. Sesungguhnya pada saat Allah memaklumkan larangan dan perintah, Allah telah mengingatkan kaum muslim untuk tidak mengikuti jalan selain jalanNya. Di dalam ayat itu, Allah memerintah untuk mengikuti jalanNya sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits shahih, dan perkataan salaf shaleh.
Menurut al-Fira' dan al-Kasaa'iy, "anna" harus dibaca nashab,” anna hadza shiraathiy” (dengan fathah). al-Fira' berkata, "Boleh dibaca dengan hafadl. Artinya, Allah telah mewasiatkan kepada kalian untuk mengikuti jalanNya. Sebab ini adalah jalanKu (bianna hadzaa shiraathiy). Sedangkan taqdiirnya (perkiraan maknanya) menurut al-Khalil dan Sibawaih, "Wa lianna hadzaa shiraathiy", sebagaimana firman Allah swt , "wa anna al-masaajid li al-Allah". Al-A'masy, Hamzah, dan al-Kasaaiy membaca, "wa inna hadza" dengan hamzah yang dikasrah; dan berkedudukan sebagai al-isti'naaf (permulaan). Al-Shiraath bermakna jalan, yakni dien al-Islam (agama Islam).
"Mustaqiiman" dinashabkan karena berkedudukan sebagai al-haal. Ma'nanya adalah tegak lurus tidak bengkok. Allah swt memerintahkan kaum muslim untuk mengikuti jalanNya, yakni jalan yang telah disampaikan Allah lewat lisan Nabiyullah Mohammad saw, dan yang telah disyariatkan Allah kepada beliau saw, dan yang akan berujung kepada surga. Barangsiapa menempuh jalan kebenaran maka ia selamat. Akan tetapi barangsiapa keluar dari jalan kebenaran tersebut, maka Allah akan menceburkannya ke neraka.
Allah swt berfirman, "Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian iti diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An'aam:153)
Al-Darimi Abu Mohamad di dalam Musnadnya meriwayatkan dengan isnad shahih, "Mengabarkan kepada kami 'Affaan, meriwayatkan kepada kami Hummad bin Zaid, meriwayatkan kepada kami 'Ashim bin Bahrakah dari Abu Wail dari 'Abdullah bin Mas'ud, dan ia berkata, "Suatu hari Rasulullah menggambarkan kepada kami suatu garis, kemudian beliau saw bersabda, "Ini adalah jalan Allah, kemudian beliau menggaris garis lagi di samping kanan dan kirinya, kemudian bersabda, "Ini adalah jalan-jalan dimana syaithan mengajak ke dalam garis ini. Kemudian beliau saw membaca ayat ini .
Ibnu Majah mengeluarkan sebuah riwayat yang menyatakan, "Dan Rasulullah saw menggambar dua garis dari samping kirinya, kemudian meletakkan tangan beliau di garis yang tengah, kemudian bersabda, "Ini adalah jalan Allah, kemudian beliau membaca ayat ini, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya". (6:153).
Al-Subul di situ bermakna umum, mencakup agama orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi, dan semua orang yang memiliki agama selain Islam, ahlu bid'ah, dan orang-orang sesat, dari golongan pemuja hawa nafsu dan dosa. Mujahid berkomentar atas firman Allah, "wa laa tattabi'uu al-subul", yakni bid'ah. Sebab, sebagaimana kita ketahui bid’ah adalah semua hal yang tidak berdasar kepada al-Quran dan Sunnah.
Ibnu Syihab berkata,"Ini sebagaimana firman Allah swt, "..yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka, dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka." (al-Ruum:32). Peringatan adalah peringatan. Keselamatan adalah keselamatan. Namun, keteguhan di jalan yang lurus --sebagaimana yang ditempuh oleh 'ulama-'ulama salaf-- akan berbuah pahala dan keberuntungan.
Para imam (ahlu hadits) meriwayatkan dari Abu Hurairah, "Rasulullah saw bersabda, "Apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka ambillah, dan apa yang aku larang dari kalian, maka tinggalkanlah".
Ibnu Majah meriwayatkan dari 'Abd al-Rahman bin 'Amru al-Sulamiy, bahwa ia mendengar al-'Iradl bin Sariyah berkata, "Rasulullah saw menasehati kami dengan suatu nasehat, sampai air mata kami bercucuran, dan hati kami tersentuh. Kami bertanya, "Ya Rasulullah sesungguhnya nasehat ini seakan-akan nasehat terakhir (bagi kami). Lalu apa yang engkau wasiatkan kepada kami? Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Sungguh aku telah tinggalkan kepada kalian al-baidla', yang malamnya bagaikan siangnya, tidak ada yang menyimpang darinya kecuali akan binasa. Barangsiapa diantara kalian yang masih hidup, maka akan terjadi banyak perselisihan. Maka wajib bagi kalian memegang teguh sunnahku dan sunnah para khulafaur rasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah dengan gerahammu, kalian wajib ta'at, walaupun terhadap budak hitam. Maka orang mukmin bagaikan onta yang dicocok hidungnya, yang mengikuti kemana orang yang membawa."
Mohammad bin Katsir telah meriwayatkan sebuah hadits dari Sufyan,”Seorang laki-laki mendatangi 'Umar bin 'Abd al-'Aziz dan bertanya kepadanya tentang qadar. "Kemudian beliau menjawab, amma ba'd. Aku berwasiat kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah swt, melaksanakan perintahNya, dan mengikuti sunah NabiNya saw, serta meninggalkan yang dibuat oleh para pembuat hadits setelah terjadi penyelewengan sunnahnya. Cukuplah beban untuk kalian. Kalian wajib terikat dengan sunnah. Maka atas ijin Allah kalian akan terjaga.....”
Sahal bin 'Abd al-Allah al-Mustariy berkata, "Kalian wajib mengikuti atsar dan sunnah. Aku takut akan datang suatu masa jika manusia diingatkan kepada Nabiyullah saw dan untuk mengikutinya dalam setiap kondisi, mereka mencelanya, berpaling darinya, menolaknya, mencelanya, dan meragukannya (dan sungguh telah datang di masa sekarang). Padahal Rasulullah saw bersabda, "Allah menghijab kebaikan para ahlu bid'ah."
Al-Fudlail bin 'Iyaadl berkata, "Barangsiapa mencintai ahlu bid'ah, maka Allah menolak amalnya, dan mengeluarkan cahaya Islam dari hatinya. Sofyan al-Tsauri berkata, "Bid'ah lebih disukai oleh iblis, daripada ma'shiyyat. Sebab ma'shiyyat bisa diampuni, sedangkan bid'ah tidak."
Ibnu 'Abbas berkata, "Lihatlah seorang laki-laki ahli surga yang menyeru kepada sunnah dan menolak dari bid'ah dalam 'ibadah. Abu 'Aliyah berkata, "Kalian wajib berpegang kepada sunnah, dimana kalian harus selalu berjalan di atasnya , sebelum kalian bercerai-berai."
Sebagian 'ulama masyhur menyatakan bahwa ma'na dari sabda Rasulullah saw bahwa Bani Israel pecah menjadi 72 golongan, dan umat ini akan terpecah 73 golongan, adalah," Firqah yang terdapat dalam firqah umat Nabi Mohammad saw adalah mereka yang memusuhi para 'ulama dan membenci para fuqaha. Perilaku semacam ini tidak pernah terjadi pada umat sebelumnya."
Rafi' bin Khadiij meriwayatkan , bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, "Akan ada pada umatku suatu kaum yang berdusta atas nama Allah dan al-Quran. Namun mereka tidak merasa (bahwa mereka tidak ubahnya) seperti orang-orang Yahudi dan Nashraniy ketika berdusta. Kemudian Rafi' bin Khadiij berkata,"Saya bertanya,” Bagaimana itu bisa terjadi Ya Rasulullah, dan bagaimana terjadinya?" Rasulullah saw bersabda, "Sebagian menerima, sebagian lain mendustakan?"
Namun, umat sekarang ini telah jauh dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Mereka menentang perintah Allah swt. Padahal Allah swt berfirman, "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (al-Hasyr:7). Rasulullah saw bersabda, "Apa yang aku perintahkan kepada kalian maka ambillah, dan apa yang aku larang maka tinggalkanlah".
Penolakan kaum muslimin terhadap sunnah nabi-Nya dan perintah RabbNya telah mengakibatkan mereka ditimpa kehinaan, kemunduran, dan kebodohan, terpecah, belah, dan musibah seperti halnya musibah yang pernah ditimpakan kepada orang-orang yang telah memusuhi Islam. Lahirlah kemudian, para penguasa kaum muslimin yang menerapkan konstitusi-konstitusi kufur yang diadopsi dari negara-negara kafir. Mereka menentang firman Allah swt, "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya.(6:153). Kemudian mereka mengikuti jalan-jalan sesat, dan meninggalkan jalan Allah yang lurus. Padahal, bukankah Allah swt berfirman, "Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (al-Maidah:50).
Pada dasarnya, seluruh aturan selain aturan Allah adalah aturan Thaghut, atau aturan Jahiliyyah. Apakah konstitusi Inggris, Perancis, Jerman, dan konstitusi buatan manusia lebih baik dari hukum Allah?
Allah swt berfirman di dalam surat al-An'am juga, "Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan terperinci?" (Al-An'am:114)
Imam Qurthubi dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, "Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah, padahal Dialah yang memberikan kamu perlindungan, padahal Dia telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu dengan rinci dan jelas?
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah Kitabullah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Mohammad saw. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah. Setiap bid'ah adalah dlolalah (kesesatan),dan setiap kesesatan ada di neraka."
Wahai kaum muslimin, bangkitlah dari tidur panjangmu! Bersihkan debu-debu kebodohan dan kemalasanmu! Bersungguh-sungguhlah kalian, untuk kembali kepada hukum al-Quran dan Sunnah, dimana didalamnya terhadap kebaikan bagi kalian di dunia dan akherat. Dan didalamnya terdapat petunjuk , kemuliaan, dan kejayaanmu. Renungkanlah sabda Rasululah saw, "Wajib bagi kamu untuk selalu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelah aku, gigitlah ia dengan gigi gerahammu."
Wahai kaum muslim, janganlah kalian mentaati para penguasa yang menyuruh kalian ta'at kepada syaithan dan berma'shiyyat kepada Allah. Tidak ada keta'atan bagi makhluq dalam berma'shiyyat kepada al-Khaliq (Allah).
Allah swt berfirman, "Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal merekat elah diperintah mengingkari thaghut itu. 
oleh JAKARTA ISLAMIC SENTER

 Bagi seseorang yang ingin mengetahui kesesatan sebuah paham atau
kelompok hendaknya dia mengetahui terlebih dahulu mana pemahaman yang
benar dan mana pemahaman yang salah.Banyak kita saksikan seseorang
kebingungan bila dia mendengar atau membaca pernyataan bahwa: Ini
adalah pemahaman yang sesat dan itu adalah pemahaman yang menyeleweng!

Mengapa dia bingung?

Hal itu terjadi tidak lain karena dia belum mengetahui perkara yang
benar dan yang salah. Kebingungan ini tidak hanya melanda orang awam
saja. Akan tetapi para pelajar,mahasiswa dan kalangan intelek pun
mengalami hal yang sama.Untuk itu sudah seharusnya seorang itu
terlebih dahulu mengetahui kebenaran sehingga bila diajak berbicara
tentang firqah-firqah sesat semacam Syi'ah, Mu'tazilah, Jahmiyah dan
lain-lainnya tidak akan merasa heran."

Berdasarkan hal itu, untuk menimbang, untuk mengukur apakah sebuah
kelompok berada di atas al-Haq terlebih dahulu kita harus mengetahui
kebenaran. Kalau kita malas, mencari tahu kebenaran tersebut, yang
terjadi adalah peringatan seseorang dikatakan sebagai hujatan.
Bagaimana mungkin kita akan mengerti, kalau kita sendiri malas
mencari kebenaran tersebut, hanya terpaku pada yang dia dapat, tidak
mau menganalisa karya-karya ulama, tidak mau mempelajari ilmu agama
dan ilmu-ilmu yang menunjang pengamalan agama ini ?

Yang benar saja tidak tahu, lalu ditambah kemalasan membaca dan
mengikuti kajian-kajian kitab para ulama, bagaimana mungkin
mengetahui kesesatan sebuah kelompok. Padahal untuk itu, tidak
dibutuhkan waktu yang panjang, hanya butuh kesabaran. Hanya perlu
meluangkan waktu tiga kali seminggu dan setiap kali hanya butuh satu
sampai dua jam, tidak pernah lebih, bahkan kurang.

Sama saja halnya tentang masalah dengan apa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam berdakwah ? Dari mana beliau memulainya?

Sesungguhnya Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam sebagai
penutup para rasul, memulai dakwahnya sebagaimana dakwah para rasul
sebelumnya yakni dakwah tauhid. Dan seruan ini bagaikan petir yang
menyambar telinga orang-orang kafir Quraisy sehingga mereka berkata:

"Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?
Sesunggguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan
pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya) berkata: 'Pergilah kamu
dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar
suatu hal yang dikehendaki." (Shad: 5-6)

Di bawah ini sekadar gambaran ringkas tentang manhaj dakwah
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dalam berdakwah, apa yang
beliau dahulukan, apakah tauhid ataukah politik. Dengan ini, kita
sudah bisa menilai apakah dakwah suatu kelompok itu benar ataukah
salah?

Wallahu 'alam bishawab.

Manhaj Para Nabi Dan Rasul Dalam Berdakwah

Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali berkata dalam kitabnya Manhajul
Anbiya' fi Dakwah ilallah hal 41-44:

"Allah berfirman :

"Dan sesungguhanya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): "Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaghut itu.
Maka diantara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh
Allah dan adapula diantaranya orang-orang yang telah pasti
kesesatannya, maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah
bagaiman kesudahanya orang-orang yang mendustakan(Rasul-rasul)."(An
Nahl: 36)

"Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu melainkan
Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sembahan yang haq
melainkan Aku" (Al Anbiya:25)

"Hai para Rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan kerjakanlah
amal yang shalih. Sesungguhanya Aku Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan . Sesungguhanya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua ,
agama yang satui dan Aku adalah Rabbmu, maka bertakwalah kepada-KU"
(Al Mukminun : 51-52)

Al Hafidz Ibnu Katsir berkata:

"Agama kalian wahai para Nabi adalah satu,yaitu berdakwah untuk
beribadah hanya kepad Allah saja, tidak ada sekutu bagiNYa" (Ibnu
Katsir 3/257)

Adapun dalam As-Sunnah yang semakna dengan ayat diatas adalah sabda
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam :

"Aku adalah manusia yang paling layak dengan ISA bin Maryam di dunia
dan akhirat. Dan para Nabi itu saudara 'allat(1), ibu mereka berbeda-
beda tapi agama mereka satu" [HR Bukhari (3443), Muslim 4/1837, dan
Ahmad 2/319, 406,483]

Ini adalah dakwah seluruh para Nabi, khususnya para Ulul'Azmi
diantara mereka. Dakwah mereka semua berjalan diatas satu manhaj dan
mereka semua memulainya dengan tauhid, karena adalah masalah terbesar
umat manusia dari zaman ke zaman. Dakwah yang dilakukan para Nabi dan
Rasul tersebut membuktikan bahwa tauhidlah satu-satunya jalan yang
harus ditempuh dalam mendakwahi manusia ke jalan Allah. Dakwa ke
jalan tauhid juga sunnatullah yang telah digariskan untuk para nabi-
Nya dan pengikut-pengikut mereka yang sejati, tidak boleh ditukar dan
tidak boleh menyimpang dari padanya."

Dalam tafsir Ibnu Katsir hal: 123-125 dinyatakan:

"Tidak dibolehkan secara syara maupun akal untuk menyimpang dari
manhaj ini dan memilih manhaj yang lain, karena beberapa sebab:

1. Manhaj ini (dakwah kepada tauhid) adalah jalan yang paling lurus
yang telah digariskan Allah untuk semua para nabi, dari  yang paling
awal sampai yang paling akhir. Allahlah pelekat  manhaj ini dan Allah
yang menciptakan manusia. Dia adalah  Dzat yang Maha Tahu akan
kemaslahatan rohani dan jiwa mereka.

2.  Para nabi dan rasul telah mempraktekkan manhaj ini dengan sungguh-
sungguh dan ini menunjukkan bahwa manhaj ini bukan hasil ijtihad.
Oleh karena itu, kita tidak akan menjumpai didalamnya: seorang nabi
yang memulai dakwahnya dengan tashawuf, seorang nabi yang memulai
dakwah dengan filsafat dan ilmu kalam; ataupun memulai dengan
politik. Justru kita dapati mereka menempuh satu manhaj dan
perhatikan mereka  mempunyai hanya satu yaitu tauhidullah. Inilah
yang mereka letakkan di peringkat pertama.

3 Apabila kembali kepada Al Quran , kita akan temui bahwa  semua
rasul, aqidahnya sama adalah tauhidullah dan dakwahnya dimulai dengan
tauhid. Tauhid ini adalah masalah terpenting dan terbesar dari apa
yang mereka bawa. Kita akan jumpai pula bahwa Allah memerintahkan
kepada nabi kita r unbtuk mengikuti dan menempuh manhaj para rasul
terdahuku. Apabila kita menelaah perjalanan dakwah nabi kita, niscaya
kita jumpai bahwa dakwah beliau dari awal hingga akhir difokuskan
pada masalah tauhid dan memberantas syirik dan sebab-sebab yang
menjerumuskan padanya.1)  Dinukil dari Majalah Salafy Edisi
III/Syawal/1416/1996, hal. 30-31

Salah satu contoh tahap dakwah yang dicontohkan oleh Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal
radhiallahu anhu ke Yaman untuk berdakwah. beliau shalallahu 'alaihi
wasallam bersabda:

"Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum ahli kitab (Yahudi dan
Nashara), maka apabila engkau mendatangi mereka. Serulah mereka agar
bersyahadat (bersaksi) bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah dan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam adalah utusan
Allah. Kalau mereka mentaati engkau dengan seruanmu itu, maka
beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima
waktu sehari semalam. Maka bila mereka mentaati kamu dengan seruanmu
itu, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas
mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diserahkan
kepada orang-orang fakir mereka. Apabila mereka mentaati kamu dalam
perkara itu, maka hati-hatilah kami dari harta-harta yang berharga
milik mereka dan takutlah terhadap doanya orang yang teraniaya,
karena tidak ada hijab (dinding batas) antara dia dengan Allah (yakni
doanya makbul,pent.) (HR. Bukhari dalam Shahihnya serta di Fathul
Bari, 8/64, hadits no.4347, serta Muslim dalam Shahihnya Syarah
Nawawi, 1/195-196, kitab Al-Iman, bab Ad-Du'a ilaa Syahadatain wa
Syara'i'il Islam dari Ibnu Abbas dari Muadz bin Jabal
radhiallahu 'anhuma).

Dalam menerangkan makna hadits ini Imam Nawani rahimahullah
menyatakan:

"Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menertibkan demikian dalam
berdakwah kepada Islam. Beliau mulai dari perkara yang terpenting
kemudian yang penting. Engkau lihat hadits ini bahwa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam mendahulukan kewajiban shalat sebelum
zakat. Dan tidak seorang pun (dari ulama -pent) yang mengatakan bahwa
seorang itu diwajibkan shalat dan tidak diwajibkan zakat.
Wallahu 'alam." Demikian Imam Nawawi rahimahullah menerangkan dalam
syarahnya terhadap Shahih Muslim, jilid 1, hal. 198.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin hafizhahullah menerangkan hadits
ini dalam kitab beliau Al Qaulul Mufid 'ala Kitabit Tauhid jilid 1
hal.129. antara lain beliau mengatakan:

"Nabi shalallahu 'alaihi wasallam memberitahukan situasi jaman kepada
dai beliau sebelum diutus karena dua perkara:

1. Dai haruslah mengerti keadaan yang didakwahi.

2. Dai haruslah dalam keadaan siap dengan ilmu karena mereka  para
mad'u (yang didakwahi) adalah ahlul kitab dan mereka ini  dalam
keadaan mempunyai ilmu." ( Dinukil dari Majalah Salafy Edisi
XII/Rajab/1417/1996, hal. 58).

Semua itu adalah gambaran sekilas tentang manhaj para nabi dan rasul
dalam berdakwah ke jalan Allah yang wajib bagi semua dai untuk
ittiba' dan menempuh apa yang mereka tempuh. Untuk lebih

lanjut dapat dilihat Manhajul Anbiya' fid Dakwah ilallah karya Syaih
Rabi bin Hadi Al Madkhali.

Dakwah Tauhid Adalah Dakwah Yang Utama Dan Terpenting

Syaikh Shalih Fauzan Al-Fauzan berkata dalam muqaddimah kitab
Minhajul Anbiya fi Da'wati Ilallah setelah menyebutkan 7 prinsip atau
asas dakwah yang benar,Jika da'wah tidak berdiri di atas asas-asas di
atas; jika manhajnya tidak berdiri di atas manhaj para rasul, maka
perjalanan da'wah akan berujung pada kegagalan. Hanya kelelahan dan
kerugian yang didapat oleh pelaku da'wahnya, tanpa menyisakan faedah
sedikit pun.

sjemlah jama'ah da'wah yang ada pada masa kini, merupakan contoh
memprihatinkan. Mereka sengaja membuat khittah perjuangan sebagai
manhaj bagi da'wahnya, sedangkan manhaj itu bertentangan dengan
manhaj para rasul. Manhaj da'wah mereka lalai akan seruan yang sangat
prinsip, kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakan aqidah. Mereka
justru berkutat habis dalam memperjuangkan masalah lainnya.
Adakalanya menyeru kepada perbaikan sistem pemerintahan, politik, dan
tuntutan tegaknya hukum dan pelaksanaan syari'at dalam memutuskan
perkara yang timbul di antara manusia.

Sungguh pun perjuangan dalam hal-hal tersebut merupakan persoalan
penting, namun bukan yang terpenting. Bagaimana kita menuntut
ditegakkannya pelaksanaan hukum Allah terhadap pencuri, penzina dan
lain-lainnya sebelum kita menuntut dilaksankannya hukum Allah atas
diri orang musyrik? Mengapa kita menuntut pelaksanaan hukum Allah
atas perkara riba, sebelum kita menuntut pelaksanaan hukum Allah bagi
hamba-hamba pengabdi keberhalaan dalam berbagai bentuknya; dan atas
orang-orang yang ingkar terhadap Asma Allah dan Sifat-Nya, mereka
yang menta'thilkan (menolak meyakini) sejumlah dalil yang menunjukkan
kepada kebenarannya?

Tidakkah kemusyrikan itu lebih durhaka dibandingkan pencurian, dan
memakan riba? Sebenarnya zina, mencuri, dan yang sejenisnya adalah
perbuatan yang menyangkut "hak hamba", sedangkan kemusyrikan adalah
suatu tindak kejahatan menyangkut hak Allah. BUKANKAH HAK ALLAH HARUS
DIDAHULUKAN DARIPADA HAK HAMBA?

Syaikh Ibnu Taimiyyah rahimahullah,menyatakan pendapatnya bahwa dosa-
dosa seperti zina, minum khamr, dan mencuri selama masih disertai
dengan lurusnya tauhid, akan lebih baik dibandingkan rusaknya tauhid
tetapi tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut. (Ibnu
Taimiyyah, Al-Istiqamah vol. 1, hal. 466)

Termasuk dalam jama'ah yang perlu meluruskan manhaj da'wahnya adalah
jama'ah yang dalam perjuangan lebih memfokuskan kepada persoalan
syiar-syiar ta'abbudi, berusaha keras untuk mengerjakan zikir-zikir
verbal mengikuti metode sufisme, atau mengutamakan kegiatan rihlah,
melakukan perjalanan dan rekreasi dalam da'wahnya. Mereka berharap
sebanyak mungkin orang dapat bisa berhimpun bersama dalam kegiatan-
kegiatan semacam itu, namun tidak memberikan perhatian yang cukup
bagi penegakan akidah. Inilah jalan yang ditempuh ahli bid'ah, karena
mereka memutarbalikkan marhalah yang ditempuh para rasul. Yang
terjadi adalah: yang semestinya di belakang, dijadikan di depan; yang
seharusnya diakhirkan, didahulukan; bermaksud mengobati suatu bagian
dari tubuh namun hakikatnya dengan membiarkan organ yang paling
penting tetap dan bertambah rusak, sebab aqidah dalam tubuh kita ini
adalah bagian yang paling pokok.

Kiranya sejumlah jama'ah da'wah yang ada pada saat sekarang ini,
perlu memperhatikan dan mengenali kembali manhaj da'wah menuju jalan
Allah, dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi.

Jika kita telusuri kembali sejarah perjuangan para rasul, maka kita
dapat saksikan bahwa dialog-dialog antara para rasul dan pembesar-
pembesar dari kaumnya, justru terjadi setelah disampaikannya perkara
aqidah yang benar, agar mereka mengabdi kepada Allah saja dan
meninggalkan seluruh bentuk ibadah yang ditujukan kepada selain-Nya.

Dalam bahasa lain, kekuasaan dan pemerintahan, baru bisa diperoleh
oleh jama'ah da'wah setelah tersebarnya dan diterimanya seruan aqidah
yang benar saja yang mengajak manusia hanya beribadah kepada Allah
saja.

Marilah kita perhatikan janji Allah yang pasti ditepati, jika kita
telah memenuhi kriteria orang yang beriman, sebagaimana firmanNya:

"Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara
kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, bahwa Dia sungguh-sungguh
akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah
menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka,
dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka
berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahKu
dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka
itulah orang-orang yang fasik." (An-Nuur: 55)

Sedemikian jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini sejumlah
jama'ah dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara aqidah-
aqidah watsaniyyah al-mutamatstsilah, masih menjadi anutan penduduk
negerinya. Masih banyak orang yang menyembah orang mati dan menjalin
kontak dengan kuburan-kuburan, suatu praktek kemusyrikan besar yang
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para penyembah Latta dan Uzza
serta Manat, bahkan jauh lebih besar darinya.

Siapa yang menginginkan keluhuran tanpa harus bekerja keras, maka
untuk memperolehnya haruslah dengan menyia-nyiakan umur.

Jika kita berkeras untuk menegakkan hukum syari'at, yang mengandung
arti penegakan hukum perdata maupun pidana serta penegakan Daulah
Islamiyah, menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh
kewajiban; yang semuanya itu merupakan perkara-perkara yang termasuk
hak-hak tauhid berikut kesempurnaannya; tidakkah itu berarti bahwa
kita tengah berusaha untuk memenuhi hak-hak tauhid, sedangkan tauhid
yang prinsip itu sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid
didahulukan, sedang tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? 
Tidakkah itu berarti furu ditegakkan sedangkan yang paling ushul 
ditelantarkan?

Menurut hemat kami, apa yang terjadi pada jama'ah-jama'ah yang
berdiri di atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para rasul
dalam metode da'wah kepada Allah, adalah suatu kebodohan; padahal
bagi orang jahil tak patut menjadi da'i; sebab termasuk persyaratan
terpenting dalam da'wah adalah "ilmu", sebagaimana Allah berfirman
kepada Nabi-Nya:

"Katakanlah: Inilah jalan (Din)-ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.
Maha Suci Allah dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." 
(Yusuf: 108)

Kita perhatikan bahwa jama'ah-jama'ah da'wah yang menisbatkan kepada
kepentingan da'wah, memiliki khittah dan manhaj yang berbeda-beda.
Khittah suatu jama'ah tidak dimiliki jama'ah yang lainnya. Ini
merupakan satu indikasi bahwa manhaj jama'ah tersebut bertentangan
dengan manhaj para rasul, sebab manhaj para rasul itu hanya satu,
tidak terbagi-bagi, tidak bermacam-macam, dan tidak pula ikhtilaf,
sebagaimana firman Allah yang tertera pada surat Yusuf, seperti
tersebut dahulu.

Maka jika benar jama'ah da'wah itu mengikuti manhaj Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam, mengikuti jalan yang satu ini, pasti
mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf dikarenakan
bertentangan dengan jalan ini. Allah berfirman:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu, maka ikutilah
dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya...." (Al-An'am:
153)

Perbedaan dan pertentangan manhaj antar jama'ah justru membahayakan
bagi Islam itu sendiri, sehingga kita layak untuk menolak masuk ke
dalamnya, berlepas diri darinya, dan tidak menggolongkannya ke dalam
jama'ah da'wah Islam, sebab telah jelas bahwa mereka bukan dari
Islam, tak memiliki kesesuaian dengan manhaj Islam, sebagaimana
firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi bergolong-golongan, tak ada sedikit pun tanggung jawabmu
terhadap mereka." (Al-An'am: 159)

Telah menjadi keyakinan yang pasti, Islam selalu menyeru kepada
persatuan (ijtima) di atas kebenaran, sebagaimana firmanNya:

"Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali (dien)
Allah, dan janganlah kamu (sekali-kali) bercerai-berai." (Ali Imran:
103)

Dengan memperhatikan keadaan jama'ah da'wah yang sedemikian
memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya jama'ah ulama untuk
menjelaskan manhaj jama'ah yang benar, sebagaimana manhaj para nabi
dalam berda'wah kepada Allah, serta menyingkapkan pergeseran dan
penyimpangan dari manhaj itu, yang kini dialami oleh sejumlah jam'ah
da'wah. Dengan demikian diharapkan jama'ah-jama'ah itu dengan penuh
kesadaran dapat melakukan koreksi, sampai kebenaran ditemukan dan
dipegang teguh. Sesungguhnya al-haq itu merupakan barang yang hilang
bagi mu'min.

Kesimpulan 
sirathol mustaqim/jalan yang lurus adalah jalan yang akan membawa kita pada keselamatan didunia dan akhirat, yakni jalan kita didunia ini.apakah perjalan hidup dan kehidupan yang kita jalani sesuai koredor agama islam manhaz rasul atau manhaz thogud.
semua kembali pada diri masing-masing.
Disunting dari :Milis As-Sunnah

 
dakwatuna.com - Allah Yang Mahaagung menghendaki agar dakwah dilakukan dengan seluruh sarana kemanusiaan. Seorang dai wajib mencari berbagai cara yang manusiawi untuk mensukseskan dakwahnya. Karena itu Rasulullah saw. tidak selalu berkata, “Hal ini telah diwahyukan kepadaku.” Tapi beliau lebih sering berkata, “Aku punya cara dan ide lain.” Bahkan di Perang Uhud sebagian sahabat berbeda pendapat dengan Nabi dalam hal taktis dan strategi perang, padahal Nabi berada di tengah-tengah mereka dan wahyu turun kepada beliau.
Firman Allah لا يكلف الله نفساً إلا وسعها , bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya (Al-Baqarah: 286) adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut. Pembebanan adalah perkara yang menyulitkan. Karena itu harus berbanding lurus dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata, “Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hambanya –sejak ayat ini diturunkan– dengan amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan demikian umat Islam terangkat kesulitannya. Artinya, Allah tidak membebani apa-apa yang terlintas dalam perasaan dan tercetus dalam hati.”
Banyak orang memahami ayat ini dengan mengatakan, kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini adalah batasan minimal kemampuan seseorang. Oleh karena itu, kemampuan dapat berubah-ubah tergantung dengan motivasi. Ada orang yang tidak mampu, ada orang yang mampu. Tentu saja pendapat ini keliru. Sebab, para sahabat mencontohkan secara nyata kepada kita bahwa mereka berkomitmen dengan seluruh kapasitas kemampuan mereka.
Jika kita buka lembaran sirah sahabat, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub Al-Anshari misalnya. Beliau wafat di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Milhan berakhir hidupnya di Pulau Qobros, Yunani. Uqbah bin Amir meninggal di Mesir. Bilal dimakamkan di Syria. Demikianlah mereka mengembara ke segala penjuru dunia untuk berdakwah. Mereka mengerahkan semua yang berharga dalam hidupnya untuk meninggikan panji Islam. Begitulah semestinya memahami ayat لا يكلف الله نفساً إلا وسعها.
Pada Perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orang-orang musyrik. Usaid bin Hudhair r.a. berkata, “سمعاً وطاعة لله ولرسوله”. Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal ia baru saja mengobati tujuh buah luka yang bersarang di tubuhnya. Bahkan dalam peperangan “Hamra Al-Asad”, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam keadaan terluka. Di antara mereka adalah Thufail bin Nu’man dengan 13 luka di tubuhnya dan Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa:
“الإرادة القوية تبذل من الجهد ما يتحدى المصاعب والآلام. وأن الإرادة الضعيفة عاجزة حتى مع وجود الوسائل والإمكانيات.”
“Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan, walau menghadapi banyak kesulitan penderitaan. Sebaliknya, kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu tersedia.”
Karena itulah Allah swt. menyebutkan sikap mereka dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِلَّهِ وَالرَّسُولِ مِنْ بَعْدِ مَا أَصَابَهُمُ الْقَرْحُ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا مِنْهُمْ وَاتَّقَوْا أَجْرٌ عَظِيمٌ
“(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa, ada pahala yang besar.” (Ali Imran: 172)
Kemampuan dan Keinginan
Kemampuan untuk berdakwah adalah dorongan kehendak jiwa dan melaksanakannya atas izin Allah. Bila dorongan itu tidak ada pada diri seseorang, maka ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi saw. mengajarkan kita untuk berdoa:
” اللهم إني أعوذ بك من الهم والحزن وأعوذ بك من العجز والكسل، وأعوذ بك من الجبن والبخل، وأعوذ بك من غلبة الدين وقهر الرجال”
“Ya Allah, aku berlindungan kepadaMu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan kikir, dan aku berlindung kepadaMu dari dilingkupi utang dan dominasi manusia.”
Rasulullah saw. juga bersabda:
” للمؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفي كل خير، احرص على ما ينفعك
واستعن بالله ولا تعجز”
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Segala sesuatunya lebih baik. Tampakanlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya.” (Muslim)
Sesungguhnya perasaan tak berdaya dan tidak punya kemampuan yang selalu diucapkan berulang kali oleh para dai hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju kendaraan dakwah. Bila seorang dai tidak berani membangun dakwahnya tanpa ada perasaan takut, hal itu akan menghancurkan dakwahnya. Bila seorang dai tidak tahan menghadap kritikan, ia tidak akan pernah maju. Ia tidak akan sampai pada kemampuan memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir).
Batas Kemampuan Kapasitas Dai
Apakah batasan kemampuan seorang dai dalam berdakwah? Jawabnya ada di firman Allah berikut ini:
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ ءَاوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang mulia.” (Al-Anfal: 74)
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (At-Taubah: 20)
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَى تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيم ٍ(10) تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (11)
“Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (Ash-Shaff: 11)
انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41)
Maksud dari firman Allah swt.: انفروا خفافاً وثقالاً, sama saja apakah kalian dalam keadaaan ringan untuk pergi berjihad atau dalam keadaan berat. Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama, ringan, karena bersemangat untuk keluar berjihad; berat, karena merasa sulit untuk berangkat. Kedua, ringan, karena sedikit keluarga yang ditinggalkan; berat, karena banyaknya keluarga yang ditinggalkan. Ketiga, ringan, ringan persenjataan yang dibawa; sebaliknya berat, karena beratnya persenjataan yang dibawa. Keempat, ringan, karena berkendaraan; berat, karena berjalan kaki. Kelima, ringan, karena masih muda; berat, karena telah uzur usia. Keenam, ringan, karena bobot badan yang kurus; berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh, ringan, karena sehat dan fit; berat, karena sakit atau kurang enak badan. Jadi, mencakup seluruh aspek.
Kebanyakan para sahabat dan tabi’in memahami ayat itu dengan pengertian yang mutlak. Mujahid berkata, “Sesungguhnya Abu Ayub turut menyaksikan Peperangan Badar bersama Rasulullah saw., dan ia belum pernah absen dari peperangan. Ia berkata, ‘Allah telah berfirman: انفروا خفافاً وثقالاً, maka itu artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat’.” Dari Shofwan bin Amr, ia berkata, “Ketika aku menjadi Gubernur Hums (Syria), aku menjumpai seorang bapak tua warga Syria yang telah turun kedua alisnya. Ia berada di atas kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Wahai Paman, engkau dimaklumi oleh Allah untuk tidak ikut berperang.’ Seraya mengangkat kedua alisnya, bapak tua itu berkata, ‘Hai Nak, Allah telah menyuruh kita keluar baik dalam keadaan ringan maupun berat. Ketahuilah, sesungguhnya Allah selalu menguji orang yang dicintainya.’”
Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry, suatu ketika Said bin Al-Musayyib r.a. keluar untuk berperang, sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. Lalu ia berkata, “Allah meminta kita untuk keluar berperang, baik terasa ringan atau berat. Jika aku tak berdaya untuk berjihad, maka berarti aku telah memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku.” Juga ketika Al-Miqdad bin Al-Aswad dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak berperang, “Engkau dimaklumi.” Lalu ia berkata, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kita surah Al-Bara’ah: pergilah dalam keadaan ringan ataupun berat.”
Dakwah Adalah Manuver Di Jalan Allah
Manuver di jalan Allah, tidak hanya berperang. Tapi punya pengertian yang luas. Dakwah –dengan segala bentuknya– adalah bentuk manuver di jalan Allah. Karena itu dalam surat At-Taubah Allah swt. menyebutkan:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (At-Taubah: 122)
Imam Ar-Razy berkata, “Kewajiban berdakwah bagi para sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu golongan keluar untuk berperang, golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah saw. Golongan yang berperang mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut berperang mewakili yang berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan. Dengan cara inilah urusan agama dapat terselesaikan secara sempurna.
Bila kita analisis ada dua keterkaitan yang erat pada ayat tersebut, keterkaitan antara manuver tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar (dakwah). Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk memaksimalkan kesungguhannya dan ditanya tentang beban kemampuan dirinya untuk membela agama Islam dengan bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan dakwah penuh hikmah dan nasihat yang baik hingga jihad dengan mengorbankan jiwa-raga.
Seorang mukmin sadar betul bahwa setiap kesungguhan yang dikerahkannya dalam ketakwaan adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan manusiawi dirinya yang lemah dan tidak akan sampai pada derajat yang sesuai dengan keagungan Allah swt. Karena itu para mufassirin berpendapat bahwa firman Allah: اتقوا الله حق تقاته “bertakwalah engkau kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa” (Ali Imran: 102), di-mansukh dengan ayat فاتقوا الله ما استطعتم , “bertakwalah kepada Allah semampu kalian”. Hal ini didasari oleh keterangan dalam asbabunnuzul bahwasanya tatkala ayat pertama turun kaum muslimin merasa keberatan karena sebenar-benarnya takwa berarti tidak boleh bermaksiat sekejap mata pun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu diingat, tidak boleh lupa. Tiada seorang hamba pun mampu melakukannya.
Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka harus dikatakan –wallahu a’lam–ada dua kapasitas ketakwaan: kapasitas yang hanya pantas untuk Allah swt. dan kapasitas ketakwaan yang sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda pada satu kondisi dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mukmin harus senantiasa berada di antara dua kapasitas tersebut. Berusaha mengarah kepada keagungan Allah swt., karena bagi seorang Mukmin esok harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya seorang Mukmin harus meningkatkan level ketakwaannya bersamaan dengan bertambahnya pengetahuan, bertambahnya kenikmatan yang diperolehnya, dan bertambahnya usia.
Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas, pasti dirinya akan merasa takut jika belum mengerahkan kemampuan sesuai yang dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam melaksanakannya. Seorang Mukmin yang paham akan hal ini selalu tidak puas dengan amalnya, tidak puas dengan kesungguhan yang telah dikerahkannya. Ia selalu khawatir telah mengabaikan tuntutan yang diminta Allah swt. dari seorang Mukmin. Itulah keadaan orang-orang yang beriman, sebagimana yang disebutkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ هُمْ مِنْ خَشْيَةِ رَبِّهِمْ مُشْفِقُونَ(57)وَالَّذِينَ هُمْ بِآيَاتِ رَبِّهِمْ يُؤْمِنُونَ(58)وَالَّذِينَ هُمْ بِرَبِّهِمْ لَا يُشْرِكُونَ(59)وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا ءَاتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ(60)أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ(61)وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ(62)
“Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (57) Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62).” (Al-Mu’minun: 57- 62)
Kehati-hatian dan Rasa Takut
Salah satu sifat orang-orang Mukmin yang disebutkan ayat tersebut di atas adalah kehati-hatian dan rasa takut. Kehati-hatian mencakup kekhawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak berdaya. Imam Ar-Razy berkata, “Di antara mereka ada yang cenderung mengartikan isyfaq dari presfektif pengaruhnya, yaitu الدوام في الطاعة, ketaatan yang kontinu, dan makna ayat tersebut menjadi الذين هم من خشية ربهم دائمون في طاعته , orang-orang yang taat secara kontinu karena takut kepada Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya, bila seseorang sampai pada perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian. Kesempurnaan rasa takut adalah puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab akhirat, sehingga ia selalu menghindari maksiat. Maka, barangsiapa yang memiliki kesempurnaan rasa takut kepada Allah, ia akan memenuhi perintah Allah unuk berdakwah, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan keadaan mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, maksudnya adalah komitmen menyampaikan setiap kebenaran. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah dan ia marasa takut dari sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi rasa takut tersebut, ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya.
Rasa takut terhadap kekurangan yang menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya dalam bertakwa adalah level para shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah menjelaskan bahwa sebab rasa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah swt. Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa mereka bersih dari riya dan sum’ah (ingin dilihat dan didengar orang) serta mengarahkan keinginan-keinginan kepada optimalisasi amal.
Setelah arahan tersebut di atas, ayat-ayat di surah Al-Mu’minun itu mendorong peningkatan kapasitas dan kapabilitas seseorang. Ia dapat berhujjah ولا نكلف نفساً إلا وسعها. Tampaklah keterpaduan antara seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan Allah yang senantiasa mengetahui hakekat kemampuan yang diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang dai ke tingkat rasa takut dan hati-hati akan sampai pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas kemampuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar