Kamis, 12 Agustus 2010

INTI SARI ISLAM

OLEH ; MUHAMMAD NIZAR.
Bagian Pertama: Kematian dan Pasca Kematian
Tujuan dari bagian ini adalah mengidentifikasi bahwa setiap muslim hendaknya mengingat dua hal berikut ini.
1. Bahwa setelah wafat, ada masih ada peluang untuk 'mendulang pahala'.
2. Akhir hidup seorang muslim hendaknya dalam kondisi "syahadah" (atau lebih populer dengan istilah "mati syahid).

Dengan berorientasi kepada kedua hal di atas, berarti seorang muslim telah 'merencanakan' akhir yang bahagia (happy ending, husn al-khatimah).
Bagian Kedua: Menjalani Hidup yang Islami
Tantangan yang ingin dijawab pada bagian kedua ini adalah : bagaimana setiap individu bisa menikmati "hidup yang hasanah" di dunia ini.
Secara umum, kondisi hidup yang hasanah di dunia dipahami dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan individu dengan cara (jalan, metode, sistem, thariqah, sabil/subul, shirath) yang "Islamy".
Menariknya, setiap upaya individu untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya di dunia ini dengan cara yang islamy akan digelari dengan sebutan "ibadah".
Dengan kata lain, "ibadah" dalam konteks pembicaraan ini, bermakna "segala upaya pemenuhan kebutuhan hidup di dunia secara islamy".
Ragam Kebutuhan
1. Rasa damai, tenang, bahagia, aman. Kebutuhan ini bolehlah kita beri nama dengan kebutuhan spiritual.
2. Berinteraksi dengan orang lain. Kebutuhan ini kita beri nama kebutuhan sosial(isasi).
3. Mendapatkan dan memberikan informasi (pengetahuan dan keterampilan). Kita beri nama kebutuhan ini dengan kebutuhan intelektual.
4. Kesehatan, kebugaran, dan keindahan fisik/tubuh. Ini adalah kebutuhan jasmani/fisikal.
Ciri Seorang Muslim
Kondisi terpenuhinya kebutuhan di atas bisa digunakan untuk merumuskan 'identitas' (ciri-ciri) sejati seorang muslim. Seorang muslim adalah seorang yang:
  • memancarkan ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan
  • luas pergaulannya dan bermanfaat bagi orang banyak
  • cerdas dan terampil
  • kaya serta sehat dan bugar
(Kita bisa, jika ingin, memperpanjang daftar di atas dengan menguraikan ciri-ciri yang sudah disebutkan dalam empat poin tersebut. Kita juga bisa memasukkan ciri khas seorang muslim ketika ia wafat: tidak tampak penderitaan di wajahnya, tercium aroma wangi yang khas baik di sekitar tempat ia meninggal atau di makamnya)
Aktifitas Pemenuhan Kebutuhan
1. Kebutuhan spiritual dipenuhi dengan cara "zikr" dan "syukr".
2. Kebutuhan sosial dipenuhi dengan cara: a) mengamati/memperhatikan, b) mendengarkan, c) berbicara, dan d) membantu orang lain.
3. Kebutuhan intelektual dipenuhi dengan cara: a) membaca, b) menulis, c) mencoba, dan d) mengajar.
4. Kebutuhan jasmani dipenuhi dengan cara: a) 'bekerja' untuk memperoleh uang, b) makan-minum yang halal lagi thayyib, c) membersihkan dan 'memperindah' bagian dalam dan luar tubuh, d) 'bekerja' untuk memperoleh dan meningkatkan kesehatan serta kebugaran tubuh
Al-Quran dan Hadits berisi informasi seputar "aktifitas" pemenuhan kebutuhan di atas.
Ada aktifitas yang prosedur pelaksanaannya (kondisi, syarat) dijelaskan secara terperinci dan 'ketat'. Ketat dalam pengertian penjelasan tersebut sedemikian jelasnya hingga tidak menimbulkan 'penafsiran' yang berbeda atau beragam bagi yang membacanya.
Di sisi lain, tidak sedikit pula aktifitas yang aturannya dijelaskan secara umum dan 'longgar'.
Tidak boleh dilupakan, bahwa beberapa aktiftas pemenuhan kebutuhan adalah "khas Islam". Maksudnya, prosedur atau aturan aktifitas tersebut hanya ada dan diakui dalam Islam. Misalnya, zikr. Aktifitas ini adalah "khas Islam". Ia bukanlah "meditasi", meski ada element meditasi yang disebut 'mirip' dengan prosedur berzikr.
Nah, aktifitas yang khas Islam pada umumnya dijelaskan secara terperinci dan ketat. Keterlibatan 'kreatifitas' individu untuk menciptakan prosedur, aturan, atau cara baru dalam konteks ini sangatlah minimal (untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali atau dilarang. Lihat: bid'ah).
Sebaliknya, aktifitas pemenuhan kebutuhan yang tidak khas Islam, pada umumnya dijelaskan secara umum dan longgar. Seperti aktifitas memelihara kebersihan tubuh dan lingkungan. Di sinilah keterlibatan kreatifitas manusia untuk membuat prosedur, aturan, atau cara dibuka luas (untuk tidak mengatakan dianjurkan/disunnahkan atau diperintahkan/diwajibkan)
Keseluruhan aktifitas pemenuhan kebutuhan di atas untuk selanjutnya kita sebut dengan 'amal.
Amal Shalih vs Amal Thalih
'Amal, sebagaimana umum diketahui, ada yang sifatnya shalih dan ada pula yang thalih (tidak shalih). Ada cara 'bekerja' untuk memperoleh uang yang shalih dan ada yang thalih.
Kita menggunakan kata 'shalih' untuk menunjukkan bahwa kategori 'baik' di sini tidak saja baik dari sisi 'hukum'-nya (wajib atau haram; kategorisasi syariah atau fiqh) tetapi juga baik dari sisi 'moral/akhlaq' -nya (dianjurkan atau tidak dianjurkan).
Di masa depan, ketika kita menemukan 'perintah' untuk beramal shalih, maknailah dengan: printah untuk memenuhi kebutuhan kita (dan bukannya kebutuhan Allah) secara shalih.
Jika Anda menemukan perintah 'berzikr', maka maknailah dengan: Allah swt memerintahkan Anda untuk memenuhi kebutuhan Anda, yaitu memperoleh dan menikmati ketenangan.
Amal yang Diperintahkan dan yang Dilarang
Ada aktifitas pemenuhan kebutuhan yang diperintahkan dan ada yang dilarang. Ada 'amal yang diperintahkan untuk dikerjakan dan ada pula 'amal yang dilarang untuk dikerjakan, meski kalau dikerjakan akan mampu memenuhi kebutuhan.
Hasil Amal Shalih: Kuantitas dan Kualitas
  • Hasil berzikr adalah ketenangan, kedamaian diri.
  • Hasil bersyukur adalah bertambahnya ni'mat yang akan diterima
  • Hasil bershilaturrahim adalah rezeki yang lancar
  • Hasil belajar dan mengajar adalah...
  • Hasil bekerja adalah uang
  • Hasil makan-minum adalah kesehatan dan kebugaran
  • Hasil berolahraga adalah kesehatan dan kebugaran
  • Hasil memelihara kebersihan dan keindahan tubuh dan lingkungan sekitar adalah...
Pada zaman ini, segala sesuatunya hampir bisa diukur dengan angka, diberi peringkat, dan diperlombakan.
Bila seorang muslim bersungguh-sungguh (baca: berlomba-lomba) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia ini, maka kesungguhannya itu akan menjadikannya sebagai individu yang sangat produktif. Kondisi ini sudah mendekati kondisi "hasanah di dunia".
Nilai Amal Shalih: Duniawi vs Ukhrawi
(Rujukan: Duniawi vs Ukhrawi)
Adalah keyakinan seorang muslim bahwa hidupnya di dunia ini akan ia lanjutkan di akhirat (setelah 'meninggalkan dunia')
Kata duniawi bermakna bersifat dunia, keduniawian. Sementara kata ukhrawi bermakna bersifat akhirat, keakhiratan. AKhirat yang dimaksud di sini adalah jannah (surga) dan bukan naar (neraka).
Kata dunia juga bisa dimaknai dengan 'dekat' sebagai lawan dari akhirat, 'jauh'.
Jika kita menempatkan keduanya dalam konteks tujuan, maka kata dunia bermakna tujuan jangka pendek dan kata akhirat bermakna tujuan jangka panjang. Individu disebut berorientasi duniawi jika ia menetapkan tujuan
Meski suatu amal dikerjakan secara shalih, namun belum tentu amal tersebut bernilai ukhrawi, atau bahasa awamnya: diterima Allah; memperoleh pahala.
Memenuhi kebutuhan hidup di dunia tidak selalu bernilai 'duniawi'. Terkadang, sebuah aktifitas ('amal) yang tidak ada aturannya (baca: hukumnya, prosedurnya, syarat, dan rukunnya) dalam Al-Quran dan Hadits bisa bernilai ukhrawi.
Pendorong dan Pencegah Amal Shalih
a yang mencegah seseorang dari memenuhi kebutuhannya secara shalih?
  • Malas, Manja/tidak ingin mersusah payah, bekerja keras
  • Tidak mengetahui cara yang shalih
  •  
Bagaimanapun prinsip tauhid tidak bisa dipisahkan dari ajaran islam, karena tauhid adalah inti ajaran ini, bahkan islam itu sendiri. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman;
{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئاً وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضاً أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ} (آل عمران:64)

“Katakanlah, “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa kita tidak beribadah kecuali kepada Allah dan kita tidak persekutukan Dia dengan suatu apa pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai rabb-rabb selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang muslim (berserah diri kepada Allah)”. (QS. 3:64)

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menjadikan tauhid sebagai agamanya adalah orang yang berhak menyandang gelar sebagai seorang muslim, bukan orang yang menolaknya. Karena menolak tauhid sama saja menolak Islam sebagai agamanya. Dan orang yang menerima tauhid sebagai ajarannya akan mendapatkan keuntungan-keuntungan yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’aala janjikan kepadanya. Di antaranya :

1. Darah dan hartanya dilindungi oleh Islam.

Nyawanya terlindungi dan hartanya terjaga kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh Islam.
((أُمِرتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَاسَ حَتىَّ يَشْهَدُوا أَن لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمّداً رَسُولُ الله، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤتُوا الزَكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءُهُم وَأَمْوَالُهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلىَ اللهِ))

“Aku diperintahkan untuk memerangi sekalian manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Apabila mereka mengerjakan itu semua maka terlindung dariku darah dan harta mereka kecuali dengan hak islam, dan perhitungan mereka di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’aala”.

Maksud dari sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kecuali dengan hak Islam”, adalah seorang muslim tidak boleh dibunuh kecuali apabila ia membunuh muslim yang lain, atau ia sudah menikah kemudian berzina, atau murtad seperti pindah agama atau meyakini ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka ketika itu pemerintah wajib menegakkan hukum had terhadap mereka.

2. Selamat dari kekal di neraka jahannam.

Karena seorang muwahhid (orang yang bertauhid) bagaimana pun besar dan banyak dosanya kepada Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pasti akan masuk surga, dan hanya orang-orang kafir yang menolak tauhidlah yang kekal selamanya di neraka. Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berfirman,
{إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ} (المائدة: 72)

“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang pun penolong”. (QS. 5:72).

3. Berkesempatan mendapatkan ampunan atas seluruh dosanya.

Seberapa banyak dan besarnya dosa seseorang (selagi bukan syirik), ada kesempatan diampuni Allah Subhanahu Wa Ta’aala bagi siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman;
{إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ } (النساء:48)

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. 4:48)

Karena seorang muwahhid apabila mati dan belum bertaubat dari dosa-dosanya maka dia di bawah kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’aala, apabila Allah Subhanahu Wa Ta’aala berkehendak akan mengampuni dosa-dosanya, dan apabila Dia berkehendak akan menyiksa sesuai kadar dosanya, kemudian apabila telah selesai perhitungan atas dirinya maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Inilah aqidah Ahlus Sunnah.

4. Dan seorang yang merealisasikan tauhid berhak untuk masuk surga tanpa diadzab dan dihisab. Dan mereka berjumlah 4.900.000 orang.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ’anhu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda; “Ditampakkan kepadaku manusia yang banyak sekali, dan tiba-tiba terdengar, “Ini adalah ummatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab…mereka adalah orang-orang yang tidak minta diruqyah, dan tidak minta di kay (diobati dengan besi yang dipanaskan) dan tidak melakukan tathayyur (mengait-ngaitkan yang dilihat atau didengar dengan nasib) dan mereka hanya bertawakkal kepada Rabbnya” Muttafaqun ‘Alaihi.

Dan dalam riwayat Ahmad dan Al Baihaqi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata, “Dan aku pun minta kepada Rabbku agar jumlah mereka ditambah dan Rabbku menambahkan, pada setiap kelipatan seribu ada tujuh puluh ribu lagi (yang masuk surga tanpa hisab dan adzab)”. Hadits ini dihasankan oleh Al ‘Allamah Al Muhaddits Muqbil Al Wadi’i Rahimahullah dalam kitabnya Asy-Syafaat. Sehingga jumlah mereka adalah 4.900.000 orang. Dan ini merupakan keistimewaan yang besar.

5. Akan dimenangkan dari musuh-musuhnya dan dijadikan berkuasa di dunia.
{وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ رُسُلاً إِلَى قَوْمِهِمْ فَجَاءُوهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَانْتَقَمْنَا مِنَ الَّذِينَ أَجْرَمُوا وَكَانَ حَقّاً عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ} (الروم:47)

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus sebelum kamu beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman”. (QS. 30:47)
{وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْناً يَعْبُدُونَنِي لا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئاً وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ} (النور:55)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yang fasik”. (Qs. 24:55)

Inilah di antara keistimewaan-keistimewaan yang didapati oleh orang-orang yang mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’aala.

Akan tetapi apabila kita melihat pada kehidupan ummat Islam sekarang ini kita menyaksikan mereka melakukan praktek-praktek ibadah yang berbeda-beda, ini semua adalah akibat perbedaan mereka dalam menafsirkan tauhid yang Allah Subhanahu Wa Ta’aala perintahkan. Padahal yang wajib adalah mengambalikan tafsirannya kepada Al Qur’an dan Sunnah menurut pemahaman salafus shalih. Allah Subhanahu Wa Ta’aala berfirman,
{فَإِنْ آمَنُوا بِمِثْلِ مَا آمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللَّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ} (البقرة:137)

“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. 2:137)

Yang dimaksud dengan orang-orang yang harus ditiru keimanannya adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan ayat ini sekaligus sebagai rekomendasi Allah Subhanahu Wa Ta’aala terhadap mereka bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus.
Lantas apa tafsiran yang benar menurut aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah?

Maknanya adalah tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’aala;
{ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ} (الحج:62)

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. 22:62)
Kalimat ini memiliki dua rukun asasi…

Yang pertama adalah nafi dan kedua adalah itsbat.

1. Yang dimaksud dengan nafi adalah menolak segala macam peribadatan kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari malaikat, nabi, orang-orang shalih dan benda-benda mati seperti gunung, lautan, batu, keris dan yang lain sebagainya.

2.Sedangkan itsbat adalah mengakui -ibadah- hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata.

Dan seseorang disebut muslim apabila telah terpenuhinya dua rukun tersebut dalam dirinya.

Fadhilatus Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah dalam kitabnya Aqidah At-Tauhid (hal; 50-51) berkata, “Makna syahadat “Laa Ilaaha Illallaah” adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah, berpegang teguh dengannya serta mengamalkannya. “Laa ilaaha” adalah pengingkaran terhadap setiap bentuk peribadatan yang ditujukan kepada siapapun selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala Dan “Illallah” adalah pengakuan bahwa ibadah hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata. Jadi makna kalimat ini secara global adalah tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala “.

Dan dikalangan ummat islam banyak beredar beberapa tafsiran yang salah tentang kalimat tauhid “Laa Iaha Illallah”, di antaranya;

1. Tidak ada yang diibadahi kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala .

Tafsiran ini sekilas serupa dengan di atas, tapi apabila diperhatikan dan diteliti maknanya akan terlihat kebatilan yang tersembunyi pada perkataan ini. Tidak ada yang diibadahi selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala mengisyaratkan bahwa setiap yang diibadahi oleh jin dan manusia, hak atau pun batil peribadatan tersebut ia adalah Allah Subhanahu Wa Ta’aala .

2. Tidak ada yang menciptakan selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala .

Tafsiran ini banyak beredar dikalangan kaum sufi dan lebih celaka lagi tafsir ini selain bertentangan dengan tafsiran yang benar, orang-orang kafir Quraisy yang menolak mengucapkannya ternyata lebih paham makna Laa Ilaha Illallah dari mereka. Karena mereka menolak mengucapkannya justru disebabkan mereka paham bahwa kalimat Laa Ilaha Illallah berarti tidak beribadah kepada selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala, tidak melakukan tawassul dengan malaikat dan orang-orang shalih. Adapun masalah penciptaan tidak pernah sekali pun terbersit pada diri-diri mereka bahwa Dzat Yang Maha Pencipta adalah selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala, hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’aala kabarkan dalam Al Qur’an;
{وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ} (العنكبوت:61)

“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab:”Allah”, maka bagaimana mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)”. (QS. 29:61)

Ayat ini jelas mengabarkan kepada kita bahwa orang-orang kafir Quraisy paham dan mengerti bahwa tidak ada yang menciptakan, memiliki dan mengatur alam raya ini dan segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata, lantas apa faidahnya kalau mereka telah memahami hal ini dan meyakininya kemudian dituntut untuk mengucapkan kalimat Laa Ilaha Illallah sedangkan mereka tidak mengingkarinya?! Ini menandakan bahwa makna Laa Ilaha Illallah tidak seperti yang mereka kira. Wallahua’lam.

3. Tidak ada hukum selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala .

Tafsiran ketiga ini banyak beredar di kalangan anak-anak muda yang memiliki semangat dalam Islam tapi dangkal dalam ilmu (agama). Penyempitan makna terhadap kalimat Laa Ilaha Illallah yang terdapat pada tafsir ini jelas. Karena ibadah memiliki pengertian yang luas seperti yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridha’i oleh Allah Subhanahu Wa Ta’aala dari perkataan, perbuatan yang lahir dan tersembunyi. Dan perkara tidak berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’aala adalah salah satu dari macam-macam ibadah yang tercakup dalam pengertian yang luas di atas. Dari sini kita mengetahui bahwa tafsiran ketiga ini adalah tafsiran yang sempit dan tidak mewakili makna yang benar.

4. Tidak ada tuhan selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala .

Paling tidak tafsiran ini tidak jelas maknanya. Apakah makna tuhan adalah Rabb sehingga makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang menciptakan, memiliki dan mengatur alam raya ini dan segala isinya kecuali Allah Subhanahu Wa Ta’aala. Sehingga tafsiran ini sama dengan tafsiran kedua. Atau makna dari kata tuhan adalah Ilah yaitu Dzat Yang diibadahi.

Dan yang wajib dalam hal ini adalah memberikan arti yang benar kepada ummat Islam sehingga cukup dengan mendengarnya mereka sudah paham bahwa makna Laa Ilaha Illallah adalah larangan dari beribadah kepada siapapun selain Allah Subhanahu Wa Ta’aala dan wajibnya memurnikannya hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’aala semata. Sebagaimana tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penciptaan, kepemilikan dan kekuasaan maka tidak ada sekutu bagi-Nya dalam peribadatan kepada-Nya. Wallahua’lam.Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf

Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah.

Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa (istri Nabi Adam ‘alaihis salam)?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah (hal. 24-33), tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini.

Kedua, Ibnu ‘Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka aku pun (segera) mewujudkan keinginan (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) itu seperti yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu ‘Arabi berkata:

(Kitab ini) dari Allah, maka dengarkanlah!

dan kepada Allah kembalilah!

(Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)

Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada (di alam semesta) adalah satu (esa), mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram (disetubuhi)?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya (istri dan saudara wanita) halal (untuk disetubuhi), akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram (disetubuhi), maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. (Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186)

Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata: Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?! (Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, 10/37). Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” (Hilyatul Auliya’ 10/35-36).

Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya ‘Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan: … Tingkatan yang kedua: Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga: mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf (penyingkapan tabir) melalui perantaraan cahaya Al Haq (Allah ‘azza wa jalla ) dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk (di alam semesta), akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat: dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan: Al Fana’ Fit Tauhid (telah melebur dalam tauhid/pengesaan) karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid.

Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat (tersingkapnya tabir) (maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen), dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, ‘membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia” (Lihat kitab Ihya ‘Ulumud Din 4/241-242).

Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia (Allah ‘azza wa jalla)” (Ibid, 4/83).

Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah (kotor) yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali (?) yang bernama Ibrahim Al ‘Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124)

Kisah lainnya tentang seorang (wali Setan) yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya: “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan di antara kisah tentang orang ini: bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya: Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? (lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130)

Penutup

Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini -na’udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah ‘azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih (untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini), karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah ‘azza wa jalla, sebagaimana firman Allah:

لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْأَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali ‘Imran: 164).

Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa: “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah ‘azza wa jalla adalah (kekotoran) jiwanya” (Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id). Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al ‘Asy’ari radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث

“Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…” (HR. Bukhari 1/175, Fathul Bari dan Muslim no. 2282).

Semoga tulisan ini Allah ‘azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين.




* * * * * * * * * * * * *

Laa ilaha illa allah
Tiada Tuhan kecuali Allah
Laa ma’buda illa allah
Tiada yang disembah kecuali Allah
Laa ma’suda illa allah
Tiada yang dituju kecuali Allah
Laa maujuda illa allah
Tiada yang maujud (berwujud) kecuali Allah
Ilahi, anta maksudi
Tuhanku, hanya engkau tujuanku,
Waridhokamatlubi
Dan hanya ridloMulah yang kucari,
A’tini mahabbataka wama’rifataka…
Limpahkan Cinta dan Ma’rifatMu kepadaku…
La Hawla Wala Wuwata Ilabillah

ABSTRACT OF ISLAM BY; Mohammad Nizar. Part One: Death and After Death The purpose of this section is to identify that every Muslim should remember these two things. 1. That after death, there still exist opportunities to 'wash the reward'. 2. End of a Muslim should live in conditions of "syahadah" (or more popular with the term "martyrdom).
With a second orientation to the above, means that a Muslim who has 'plan' a happy ending (happy ending, husn al-khatimah). Part Two: Living the Life of Islami The challenge to be answered in this second part is: how each individual can enjoy the "good life Hasanah" in this world. In general, living conditions in the world understood Hasanah fulfillment of all the needs of individuals in a way (way, method, system, Thariqoh, sabil / subul, shirath) that "Islamy". Interestingly, each individual's efforts to meet all needs of life in this world in a way that islamy will be dubbed as "worship". In other words, "worship" in the context of this discussion, means "every effort to fulfill the necessities of life in the world for islamy". Variety of Needs 1. A sense of peace, calm, happy, safe. This need is so-so we give the name of spiritual needs. 2. Interact with others. This need we give the name of social needs (tions). 3. Obtaining and providing information (knowledge and skills). We give a name to this need with intellectual needs. 4. Health, fitness, and physical beauty / body. These are physical needs / physical. A feature of Muslim That all necessary conditions above can be used to formulate the 'identity' (characteristics) of a true Muslim. A Muslim is one who:

    
* Radiates calmness, peace and happiness
    
* Extensive interaction and useful for many
    
* Intelligent and skilled
    
* Rich and healthy and fit
(We can, if you wish, extend the list above to describe the characteristics that have been mentioned in these four points. We can also enter a hallmark of a Muslim when he died: no visible pain on his face, smelled the distinctive scent good around where he died or in his grave) Activities Fulfillment Needs 1. Spiritual needs met by way of "Zikr" and "syukr". 2. Social needs met by way of: a) watch / pay attention, b) listen to, c) talking, and d) helping others. 3. Intellectual needs met by way of: a) reading, b) writing, c) a try, and d) teaching. 4. Physical needs met by way of: a) 'works' to obtain money, b) eat kosher-drinking again thayyib, c) the cleansing and 'beautify' the inside and outside the body, d) 'working' to acquire and improve their health and fitness body Al-Quran and Hadith contain information about the "activities" fulfilling the above requirement. There are procedures for implementation of activities (conditions, terms) are described in detail and 'tight'. Strict in the sense of clarity to the explanation did not result in such 'interpretations' that are different or vary for those who read it. On the other hand, not a few activities that the rules described in general and 'loose'. Should not be forgotten, that some aktiftas fulfillment is "typical of Islam." That is, procedures or rules of such activity there is only recognized in Islam. For example, the Zikr. This activity was "typical of Islam." He is not a "meditation", although there are elements of meditation called 'similar' with berzikr procedures. Well, specifically Islamic activities in general are described in detail and tight. The involvement of 'creativity' of individuals to create procedures, rules, or new ways in this context is very minimal (not to say none at all or prohibited. See: heresy). Conversely, activities that do not meet the needs of Islam, generally described in general and loose. Such activities to maintain cleanliness of body and environment. This is where the involvement of human creativity to create procedures, rules, or how wide open (to say nothing of advisable / disunnahkan or ordered / required) Overall activity for the fulfillment of the above then we call the 'charity. Amal Amal Salih vs Thalih 'Amal, as is generally known, there are righteous and some are thalih (not salih). There are ways of 'working' to obtain money and there is a thalih salih. We use the word 'righteous' to indicate that the category of' good 'here is not only good from the side' hukum' his (obligatory or forbidden; categorization of sharia, or fiqh), but also on the aspect of 'moral / morality' it (is recommended or not recommended). In the future, when we find 'command' for charity salih, maknailah with: printah to meet our needs (and not the needs of God) is righteous. If you find the command 'berzikr', then maknailah with: Allah ordered you to meet your needs, namely to obtain and enjoy the serenity. Ordered and charitable Prohibited There are activities and the fulfillment of existing orders are prohibited. There 'charity which was ordered to do and there is also' a charity that is prohibited to do, even if done will be able to meet demand. Results Amal Salih: Quantity and Quality

    
* Results berzikr is peace, peace itself.
    
* The result is increased ni'mat grateful to be received
    
* Results bershilaturrahim is current provision
    
* Results of learning and teaching is ...
    
* The work is money
    
* The food and beverage is health and fitness
    
* The result is a health and fitness exercise
    
* The result of maintaining the cleanliness and beauty of the body and the environment is ...
At this age, almost everything can be measured by numbers, given the ratings, and diperlombakan. When a Muslim seriously (read: the race) in meeting the needs of life in this world, then it will make his sincerity as an individual who is very productive. This condition is already approaching the condition of "Hasanah in the world." Amal Salih Value: Earthly vs. Ukhrawi (Reference: Earthly vs. Ukhrawi) Is a Muslim belief that life in this world will he continue in the afterlife (after 'leaving the world') Words are meaningless earthly world, worldliness. While the word is meaningless ukhrawi Hereafter, keakhiratan. Hereafter referred to here is Jannah (heaven) and not naar (hell). Said the world can also be interpreted as 'close' as opposed to the Hereafter, 'far'. If we put both in the context of the purpose, the word world of meaningful short-term goals and said the next meaningful long-term goals. Individuals called worldly-oriented if he set a goal Though a righteous deeds done, but not necessarily as valuable ukhrawi charity, or its lay language: acceptable to God; a reward. Meet the necessities of life in the world is not always worth 'worldly'. Sometimes, an activity ('amal) that there are no rules (read: laws, procedures, terms, and rukunnya) in Al-Quran and Hadith could be worth ukhrawi. Thrusters and Prevention Amal Salih that prevents a person from fulfilling its needs salih?

    
* Lazy, Spoiled / do not want mersusah effort, working hard
    
* Not knowing how salih
    
*
However the principle of unity can not be separated from the teachings of Islam, because unity is the essence of this doctrine, even Islam itself. Allah Subhanahu Wa Ta'aala said; (قل يا أهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد إلا الله ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله فإن تولوا فقولوا اشهدوا بأنا مسلمون) (آل عمران: 64)
"Say," O People of the Book, let (adhere) to a sentence (decision) that there is no disagreement between us and you, that we do not worship except Allah and we do not associate him with anything and not a (too) most of our take others as rabb-rabb but Allah. If they turn back, say ye: "Bear witness that we are people who are Muslim (submission to Allah)." (Surah 3:64)
This verse explains that the person who made the unity as a religious person who is entitled to a degree as a Muslim, not the people who reject it. For refusing to reject the same unity of Islam as a religion. And those who accept the teachings of unity will get the benefits that God has promised him Ta'aala Subhanahu Wa. Among them:
1. Blood and treasure protected by Islam.
Life is protected and maintained his property except for reasons that are justified by Islam. ((أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله, ويقيموا الصلاة, ويؤتوا الزكاة, فإذا فعلوا ذلك عصموا مني دماءهم وأموالهم إلا بحق الإسلام, وحسابهم على الله))
"I was ordered to fight all men until they testify that there is no right to put my trust but Allah and that Muhammad is the Messenger of Allah, establish prayer, give charity. If they do that all the blood and protected their property from me except the rights of Islam, and their calculations in the sight of Allah Subhanahu Wa Ta'aala ".
The purpose of the statement of the Prophet sallallaahu 'alayhi wasallam, "Unless the rights of Islam", is a Muslim should not be killed unless he killed another Muslim, or he was married and then committed adultery, or apostasy, such as changing the religion or believe there is another prophet after Prophet Muhammad sallallaahu 'alayhi wasallam. So when the government was obliged to enforce the law Had to them.
2. Congratulations from eternity in Hell.
Because a muwahhid (bertauhid person) no matter how great and many sins to Allah sallallaahu 'alayhi wasallam would go to heaven, and only the infidels who refuse tauhidlah eternal in hell forever. Allah sallallaahu 'alayhi wasallam said, (إنه من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجنة ومأواه النار وما للظالمين من أنصار) (المائدة: 72)
"Those who ascribe (something to) Allah, surely Allah forbid him Paradise, and his place is hell, is not there for people that do wrong one helper." (Surah 5:72).
3. Opportunity to obtain forgiveness of all sins.
How much and size of one's sins (while not shirk), there is forgiveness of Allah Subhanahu Wa opportunity for whom Ta'aala by him. Allah Subhanahu Wa Ta'aala said; (إن الله لا يغفر أن يشرك به ويغفر ما دون ذلك لمن يشاء) (النساء: 48)
"Verily Allah will not forgive the sin of shirk, and He forgives all sins apart from (shirk), for whom He wills." (Surah 4:48)
Because a muwahhid if dead and has not repented of his sins then he's under the will of Allah Subhanahu Wa Ta'aala, if God wills Subhanahu Wa Ta'aala will forgive his sins, and when He wills will be tortured according to levels of sin, then if has completed its calculation of her then she will be entered into the heavens. This aqidah Ahlus Sunnah.
4. And a realization of tawhid is entitled to enter Paradise without diadzab and brought to account. And they amount to 4.9 million people.
It was narrated from Ibn Abbas quoted 'anhu Rasulullah sallallaahu' alayhi wasallam said: "shown me a lot of people, and suddenly heard," This is ummatmu, and with them there are seventy thousand people who enter Paradise without being brought to account and without diadzab ... they are people who do not ask diruqyah, and do not ask for the kay (treated with iron, which is heated) and do tathayyur (linked ngaitkan seen or heard by fate) and they only bertawakkal to his Lord "Agreed 'Peace be upon.
And in the history of Ahmad and Al-Bayhaqi, the Prophet sallallaahu 'alayhi wasallam said, "And so I ask my Lord added to their numbers and adding my Lord, at every multiple of one thousand seven hundred thousand more (who enter Paradise without reckoning and adzab)." This hadeeth dihasankan by Al 'Allama Al-Ameen Ash Muqbil Al Wadi'i mercy on him in his book Ash-Intercession. So that their numbers are 4.9 million people. And this is a great privilege.
5. Be won from their enemies and become powerful in the world. (ولقد أرسلنا من قبلك رسلا إلى قومهم فجاءوهم بالبينات فانتقمنا من الذين أجرموا وكان حقا علينا نصر المؤمنين) (الروم: 47)
"And verily We have sent Messengers before you, some people told his people, they come to him with the particulars (which is enough), then we had to retaliate against those who sinned. And we are always obliged to help people have faith. " (Qur'an 30:47) (وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض كما استخلف الذين من قبلهم وليمكنن لهم دينهم الذي ارتضى لهم وليبدلنهم من بعد خوفهم أمنا يعبدونني لا يشركون بي شيئا ومن كفر بعد ذلك فأولئك هم الفاسقون) (النور: 55)
"And Allah has promised those among you who believe and do righteous deeds that He will indeed make them powerful in the earth, as He will establish for them the religion that has blessed him to them, and He really going to change the (state of) them, after they are in fear to secure safety. They still worship Me with not ascribe anything with Me. And whoever is (still) disbelieved after (we promise), then they are the evildoers. " (Qur'an 24:55)
These are among the useful features found by people who mentauhidkan Ta'aala Allah Subhanahu Wa.
But if we look at the life of Muslims today we watched them perform religious practices different, this is all due to their differences in interpreting the unity of Allah Subhanahu Wa Ta'aala commanded. When what is required to mengambalikan interpretation of the Qur'an and Sunnah according to the understanding salafus salih. Allah Subhanahu Wa Ta'aala says: (فإن آمنوا بمثل ما آمنتم به فقد اهتدوا وإن تولوا فإنما هم في شقاق فسيكفيكهم الله وهو السميع العليم) (البقرة: 137)
"So if they believe in what you already believe in him, so they've got the instructions, and if they turn away, in fact they are in a feud (with you). Then Allah will suffice you from them. And He is the Hearer, the Knower. " (Qur'an 2:137)
What is meant by the people who should be emulated in his faith is the shahabat Prophet sallallaahu 'alayhi wasallam. And this verse as well as the recommendations of Allah Subhanahu Wa Ta'aala against them that they are on the right path. Then what is the correct interpretation according to Ahlus Sunnah wal Jama `aqidah?
Its meaning is not entitled to put my trust anyone other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala. This is based on the word of Allah Subhanahu Wa Ta'aala; (ذلك بأن الله هو الحق وأن ما يدعون من دونه هو الباطل وأن الله هو العلي الكبير) (الحج: 62)
"(The power of God) so it is for Allah, He (Rabb) of Haq and indeed what they invoke besides Allah, that's a falsehood, and that Allah is He, Most High, Most Great." (Qur'an 22:62) This sentence has two basic pillars of ...
The first is the nafs and the second is itsbat.
1. The meaning of nafs is refusing all kinds of worship to other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala of angels, prophets, righteous people and inanimate objects such as mountains, oceans, rocks, a dagger and so forth.
2.Sedangkan itsbat is admitted-worship-only belong to Allah Subhanahu Wa Ta'aala alone.
And someone called upon Muslims to fulfill these two pillars in him.
Fadhilatus Shaykh Salih bin Fauzan Al Fauzan Hafidzahullah in his book Aqidah At-Tawheed (p.; 50-51) said, "The meaning of the creed" La ilaha Illallaah "is to believe, and pledged that nothing is entitled to put my trust but God, hold fast to him and mengamalkannya. "La ilaha" is a denial of any form of worship addressed to anyone other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala And "illallah" is the recognition that worship belongs only to Allah Subhanahu Wa Ta'aala alone. So the meaning of this sentence globally is no right to put my trust except Allah Subhanahu Wa Ta'aala ".
And among the many outstanding Islamic ummah some wrong interpretation of the sentence tawhid "Laa Iaha illallah", among them;
1. Nothing I put my trust except Allah Subhanahu Wa Ta'aala.
This interpretation is similar to briefly above, but if cared for and studied their meanings hidden kebatilan will look at these words. No one put my trust in addition to Allah Subhanahu Wa Ta'aala which suggests that each put my trust by jinns and humans, or any rights that he is a vanity worship Allah Subhanahu Wa Ta'aala.
2. Nothing but Allah Subhanahu Wa create Ta'aala.
This interpretation many outstanding among the Sufis and the more wretched again this commentary in addition to conflicting with the correct interpretation, Quraish infidels who refuse to say it turned out better understand the meaning of Laa ilaha illallah from them. Because they refused to say precisely because they understand that sentence Laa ilaha illallah means does not worship other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala, did not do Tawassul with the angels and the righteous people. The problem of creation never once dawned on them selves that Essence is the Almighty Creator Allah Subhanahu Wa Ta'aala besides, this is Allah Subhanahu Wa Ta'aala proclaim in the Qur'an; (ولئن سألتهم من خلق السماوات والأرض وسخر الشمس والقمر ليقولن الله فأنى يؤفكون) (العنكبوت: 61)
"And if you ask them:" Who created the heavens and the earth and subjected the sun and the moon? "Of course they will say: 'Allah', then how are they (can) turn away (from the right path)." (Qur'an 29:61)
This verse is clear to him and told us that the disbelievers of Quraysh know and understand that nothing is created, own and manage this universe and everything in it except Allah Subhanahu Wa Ta'aala alone, then what faidahnya if they have understood this and believed it then required to say Laa ilaha illallah sentences while they did not deny it! This indicates that the meaning of Laa ilaha illallah not what they think. Wallahua'lam.
3. There is no law except the law of Allah Subhanahu Wa Ta'aala.
This third interpretation among the many outstanding young people who have the spirit of Islam but shallow in knowledge (religion). Narrowing of the meaning of Laa ilaha illallah sentences contained in this commentary clear. Since worship has a broad sense as we are told by Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah, includes everything that is loved and diridha'i by Allah Subhanahu Wa Ta'aala of words, deeds that were born and hidden. And the case is not berhukum by law other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala is one of the kinds of worship are covered in broad terms above. From here we learn that this third interpretation is that a narrow interpretation and do not represent the true meaning.
4. There is no god but Allah Subhanahu Wa Ta'aala.
At least this interpretation is not clear what it means. Is the meaning of god is the Lord so that the meaning of laa ilaha illallah is nothing to create, own and manage this universe and everything in it except Allah Subhanahu Wa Ta'aala. So the interpretation is similar to the second interpretation. Or the meaning of the word god is the God of the Essence Who put my trust.
And who shall in this case is to give true meaning to the Muslims so that they've heard it enough to understand that the meaning of Laa ilaha illallah is the prohibition of worship to anyone other than Allah Subhanahu Wa Ta'aala and obligatory to purify only to Allah Subhanahu Wa Ta'aala alone. As there is no ally for him in the creation, ownership and power, there is no ally for him in worship to Him. Wallahua'lam. Some Examples of Deviance and the teachings of Sufism Fallacy
Here we will nukilkan a few words and misguided beliefs and the Kufr of the figures are very honored by those experts Sufism, which indicates the deviation of this doctrine and this doctrine is very far from the guidance of Al Quran and Sunnah.
First, Ibn Al Faridh who perished in the year 632 AH, of the great Sufi who adopts wihdatul beings and believe that a servant could be God, even more dirty-again-as she describes the attributes of his Lord like qualities of women, up- until he considered that the Lord had appeared before the prophet Adam sallallaahu 'alaihi wa sallam in the form of Hawwa (wife of Prophet Adam' alaihis salam)?! For more information please refer to the book of Ash Hiya Hadzihi Shufiyyah (pp. 24-33), Shaykh Abd al Vice writings that point to the sayings of Ibn al-Kufr this Faridh.
Second, Ibn 'Arabi in his book that contains a myriad of Fushushul Hikam error and infidelity. In his book he says that this Rasullah sallallaahu 'alaihi wa sallam was the one who gave him the book, and he sallallaahu' alaihi wa sallam said to him: "Take this book and scatter them in humans in order to benefit from it", then Ibn 'Arabi said: "So I (immediately) realize the desire (Prophet sallallaahu 'alaihi wa sallam) was such that he sallallaahu' alaihi wa sallam set to me no more and no less, then Ibn 'Arabi said:
(The book) from God, then listen!
and to Allah go back!
(Fushushul Hikam, with the intercession of the book Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal.19)
Third, At Tilmisani, a major figure Mysticism, when told him that they Fushushul Hikam reference books contrary to the Qur'an, he instead replied, "The entire contents of the Qur'an is kesyirikan, and indeed there is only the words Tawhid us." Then say to him, "If you say that all that exists (the universe) is one (one), why a wife kosher for disetubuhi, while the illegitimate brother of the woman (disetubuhi)?" And he replied, "We think it (the wife and female relatives) halal (for disetubuhi), but the people who blocked from witnessing the oneness of all nature, saying that the brother of a woman haram (disetubuhi), so we joined in the said unlawful. " (Dinukil by Shaykh al-Islam Ibn Taymiyyah, see Majmu'ul Fatawa 13/186)
Fourth, Abu Yazid Al Busthami, who once said: I'm surprised at people who have known God, why is he still worship Him! (Dinukil by Abu Al Ashbahani Nu'aim Hilyatul Auliya in his book ', 10/37). He also said, "Truly I have been collecting the practice of worship throughout the seven heavens and seven inhabitants of the earth, then I enter into the pillow and I put down my cheeks" (Hilyatul Auliya '10/35-36).
Fifth, Abu Hamid al Ghazali, one which included the characters of the greatest scholars and Sufism is well known, in his book Ihya 'Ulumud Din when he talked about the levels in monotheism, he said, "In the Tawhid there are four levels: Levels of ... second: With justify al meaning in the hearts of the kind that generally the Muslims, and this is the belief of ordinary people?! The third level: the meaning of these proofs with the way Al Kashef (unveiling the curtain) through the intermediary of the light of Al Haq (God 'Almighty) and this is the level of Al Muqarrabin, with someone seeing the many creatures (the universe), but he saw all derived from the Substance Yang Maha Tunggal Mighty, and fourth levels: by not witnessed in this universe except the one substance that is one, and it is witnessing the Shiddiqin, and termed by experts of Sufism with the title: Al Mortal 'Fit Tawhid (has been merged in the unity / pengesaan) because he did not see except for one, even he does not see himself ... And this is the highest peak in monotheism.
If you ask how could someone not see but only one, when he saw the sky, the earth and all the things that really real, and it's a lot? and how much something to just one? Know that this is the culmination of science Mukasyafat (screen exposure) (referring to hoax people Mysticism sourced expert from the whisperings of their souls and feelings, which is totally based on Al Quran and Sunnah,-pen), and the secrets of science This should not be written in a book, because the people who had achieved Ma'rifah said, 'whistle-blowing is a pagan deity'. As a human being to say much when you see his spirit, body, joints, ligaments, tendons, bones and entrails, but from another viewpoint to say he is a man "(See the book of Ihya 'Ulumud Din 4/241-242) .
Al-Ghazali also said, "The view of the unity of the first kind, namely the view that pure monotheism, with this view, you will be introduced that he is thankful and grateful for, and he who loves and is loved, this is the view of people who believe that it is not there this universe but He (God 'Almighty) "(Ibid, 4 / 83).
Sixth, Ash Sya'rani, a major figure Tashawuf who has written a book entitled Ath Thabaqat Al Kubra, which contains biographies of leaders and experts Mysticism stories (gross) that are considered by people as a sign of Sufism expert status as guardian. Among the story of a saint (?) Named Ibrahim Al 'Uryan, this person when rising in the pulpit and speak always naked!? (See At Thabaqat Al Kubra 2 / 124)
Another story about a (guardian devil) named Shaykh Al Wuhaisyi who reside in houses of prostitution, which every person who finished commit adultery, and was about to leave the place, he said to him: "Wait a minute until I finish intercede for you before you leave this place!? "And among the stories about these people: that every time there was a local religious leader was riding a donkey, he ordered him to immediately go down, then said to him: Hold a donkey's head, so I can vent birahiku him!? (See At Thabaqat Al Kubra 2/129-130)
Cover
After the above discussion, it is clear to us all that Sufism is heretical teachings that deviate very far from the guidance of Al Quran and Sunnah, which is the practice of this teaching-na 'udzu billah min dzalik-person instead of getting closer to Allah' Azza wa jalla, but even further away from Him, and his heart rather than the more clean, but even more dirty and stained. Then, if the question is, "Then what should we attempt to do in order to purify the soul and our hearts?", Then the answer is quite simple, namely, Learn and amalkan Islamic Shari'a is the body and heart, then by that's souls and our hearts be clean (for more details please review the book reader Manhajul Anbiya FII Tazkiyatin nufus Shaikh Salim Al Hilali papers, which are written specifically to clarify this important issue), because among the main tasks that brought the Apostle sallallaahu 'alaihi wa sallam is to purify the soul and human hearts by teaching them the Shari'a of Allah 'Almighty, as He says:
لقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم رسولا منأنفسهم يتلو عليهم آياته ويزكيهم ويعلمهمالكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين

Tidak ada komentar:

Posting Komentar